Kepala menengadah keatas, menikmati hujan yang menerpa wajah, berharap melunturkan rasa sesak tak tertahan yang menggerogoti hati dan pikiran.
Tak ada yang tahu betapa sakitnya, dan ia berharap tidak ada yang perduli.
Dia hanya ingin kembali, kembali kesaat-saat dimana dia selalu tersenyum, kembali kesat-saat dimana ia measa ada dirumah.
Dinginnya angin yang menusuk tulang tak lagi terasa. Kaki ingin melangkah, namun enggan untuk meninggalkn tempatnya berdiri.
***
Bokong penuh duduk dengan tenang dikursi empuk yang terbuat dari bahan terbaik. Meja rapih dengan dokumen yang sudah selesai dikerjakan. Jari lentik putih, bergerak melonggarkan dasi yang terasa semakin mencekik. Nafas dihela dengan pelan. Ia mngecek ponselnya, tidak ada notifikasi apapun.
Ia melemparkan kembali ponsel kesisi meja lainnya, memencet tombol speed dial rambut merah darahnya bergerak sesuai gerakan tubuh, "maaf Akashi-sama, Tetsuna-sama tidak meninggalkan pesan apapun pada saya" seperti membaca kebiasaan dan kebutuhan, sang sekertaris harus menghafal mati apa yang dibutuhkan bosnya jika tidak ingin mati kelaparan di negara yang keras.
Kembali terdengar helaan nafas. Sedang ia merasa frustasi ponsel berdering menampilkan nama yang ditunggu, "kau tidak kemari?" tanpa sapaan, tanpa basa-basi, pertanyaan tepat pada jantung permasalahan, "maaf, aku sedang ada kuliah ganti, bisakah kau menunggu sampai nanti sore?"
"kau pikir bisa membodohiku? kemari dalam 10 menit, atau akan kupastikan apapun yang kau lakukan sekarang tidak dapat kau lakukan lagi" sambungan diputus. Mata heterokom memutar menjelajah ruangan, melihat jam pada dinding lalu kembali berkutat dengan dokumen.
*
Sebuah ketukan kecil terdengar dari pintu, "masuk" wajah putih merona, dengan sedikit raut kesal, dan mata biru berbinar senada dengan langit musim panas menyembul dari balik pintu, "kau ingin aku yang mendudukkanmu atau kau duduk sendiri?" titah tanpa pandangan langsung.
Bibir mengerucut kecil, ingin rasanya wanita itu melemparkan tasnya ke wajah tampan yang selalu membuatnya bertekuk lutut, "apa yang kau lakukan?" tanya wanita itu dengan suara seriang burung camar, namun tanpa ekspresi di wajahnya, "apa yang kau lihat dengan matamu. Berhenti menanyakan pertanyaan bodoh!" Anggukan diberikan, "berencana kemana dengan Kagami Taiga?" punggung wanita itu menegak.
Nafas tersengal, "ba-"
"sudah kubilang kau tidak bisa membodohiku bukan?"
"maaf, aku berencana ingin membeli tiket konser"
"aku akan membelikannya untukmu"
"tidak seru Akashi-kun, aku ingin mendapatkan sesuatu dengan tanganku sendiri, aku berpkir untuk tidak menerima bantuanmu"
Akashi mengalihkan pandangannya, menatap lurus manik biru langit yang selalu menjadi dambaannya. Tekad kuat yang selalu dikagumi sidominan yang tidak terelakkan, "kau mengujiku?"
"aku tidak mengujimu Akashi-kun! Aku benar-benar ingin berusaha, sampai kapan kau akan memanjakanku? aku juga ingin berdiri dikakiku sendiri!" Akashi menghela nafas, seringaian muncul dari bibirnya.
"kau burung kecil yang sudah ingin belajar terbang? begitu Tetsuna?" Namanya di sebut dengan nada yang dalam, membuat seluruh tubuhnya merinding merasakan listrik statis. Melihat perubahan si burung kecil, Akashi bangkit dari tempatnya dan mendekati Tetsuna.
Langkah tegas dan konstan. Tetsuna menunduk dalam tak sanggup menatap si dominan. Sebuah belaian lembut ia rasakan di atas kepala, tak lama kecupan di keningnya, "kenapa harus bersembunyi jika ingin mandiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let it die
FanfictionKini matahari tak lagi sama sinarnya. Kini Akashi hanya mampu memandang kilas masa lalu melalui memorinya, karena Matahari yang ia tahu, sudah tak sanggup lagi bersinar. Short Story yang terinspirasi dari lagu My First Story berjudul "let it die"