Aku masih menganga tidak percaya. Betapa sayang sekali aku kepada Abah, hingga ketika aku sedang merindukannya, kubaca koran-koran yang memuat tulisan dari Abah. Namun baru kali ini Abah menulis untukku. Ya, untukku. Pelan-pelan, surat itu aku buka.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumussalam.."
...
"Eh dek, kayak suaranya mas deh"
"Iya mi"
Ceklek..
Terdengar suara pintu rumah terbuka. Itu sudah pasti mas Ilyas. Umi keluar dari kamar, aku pun berjalan mengikuti umi dari belakang.
*salim
"Mi, masak risol ya? Hehe, kebauan pas sampe rumah tetangga"
"Kuwi risol e umi deleh ning pawon" (Itu risolnya umi taruh di dapur)
Mas Ilyas pun segera ke dapur mencari risol. Aku yang memegang surat dari Abah, menuju ruang tamu untuk duduk dan memulai untuk membacanya-yang belum sempat ku baca karena mas Ilyas yang tiba-tiba pulang. Kini gantian Umi yang mengikutiku dari belakang dan kita duduk bersama di ruang tamu.
Tidak lama kemudian..
"Loh loh enek opo iki"
"Abah.. hiks.. Abah..."
Mas Ilyas duduk, kemudian memelukku dan umi. Setelah 10 tahun yang lalu, baru kali ini aku menangis-lagi. Tangisan yang sama, dengan objek yang sama. Umi pun begitu.
Lagi-lagi, malam ini, dengan suasana syahdu, kami tenggelam dalam sesuatu yang disebut dengan haru. Haru karena kelewat bersyukur telah dikaruniai keluarga seperti ini. Keluarga yang menerima kita, selalu menjadi rumah untuk pulang ketika tidak seorang pun yang dapat memahami kita seutuhnya.
"Umi"
"Iya dek?"
"Sekarang aku tahu kenapa Umi dan mas Ilyas tidak pernah mengekangku. Menjadi perempuan yang memilih untuk sekolah jauh disaat teman-teman perempuan dilarang karena dianggap tidak pantas bagi perempuan untuk keluar jauh dari orang tua"
"Dek, Abah tau kalau kamu itu rasa ingin tahunya sangat tinggi. Bukankah dari dulu pun kamu selalu berangan kalau namamu akan didengar di seluruh penjuru dunia? Seperti Abah. Yaa walaupun nama Abah hanya didengar di lingkup negeri sendiri sih," jelas mas Ilyas.
"Iya, makanya Umi dan masmu nggak melarang kamu. Umi nggak mau mimpimu lenyap. Umi juga percaya, anak perempuan Umi dapat menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya," tambah Umi.
Aku lega. Tanpa dijelaskan pun kalian juga tahu apa isi surat Abah. Sekarang aku sadar akan diriku. Aku merasa aku menemukan kembali teka-teki yang hilang sejak lama. Tentang pertanyaan yang selama ini menghantui, tentang kalimat Umi yang berbunyi
"Diana Aisha, Umi meridhoi kamu untuk pergi jauh. Pergilah kemana pun yang kamu mau. Bawalah kebermanfaatan perempuan Islam. Cukup bagimu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Asiyah istri Fir'aun, dan Fatimah binti Muhammad SAW menjadi panutan dalam hidupmu. Hijrahlah untuk umat, Asihaku."
Malam ini, aku nyatakan selesai sudah aku berdamai untuk diriku. Kembali aku tidur, lebih nyenyak dari malam biasanya. Ya, lebih indah. Indah sekali hingga aku tidak sabar untuk bangun dan menebak kejutan apalagi yang akan Allah berikan untuk hidupku esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri 1001 Diana
General FictionSebuah perjalanan menuju 1001 negeri dunia dan bait mimpi. Mengejar cinta atau cita-cita. Diana, seorang keras kepala yang memiliki ambisi untuk pergi berpetualang mencari ilmuNya. Perempuan rumit dengan penjagaan diri, mencoba mendobrak benua dan...