Bab 2

133 20 3
                                    

Libby Whitney membuka matanya yang terasa berat, mengerjap beberapa kali, lalu mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi sebagian wajah yang terkena sorot matahari. Dia mengerang pelan, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Sudut matanya melirik jam bundar kecil di meja, kalau bukan untuk interview, rasanya Libby masih ingin tidur di balik selimut tebalnya. Terlebih ini adalah awal musim semi, udara dingin begitu menusuk hingga ke tulang-tulangnya.

"Ingat tujuanmu ke sini, Libby. Demi Jeamy," gumana Libby seraya mengembuskan napas berat. "Oh... Dear."

Libby melihat sekeliling, ini adalah seminggu dia hidup seorang diri. Biasanya, setiap pagi suara Jeamy selalu menggangu tidurnya. Belum lagi suara Kattie—kakaknya—yang selalu memekakkan telinga hanya supaya Libby  bangun lebih awal. Oh, betapa Libby merindukan mereka.

Dengan langkah gontai, Libby bangun dan berjalan terseret-seret ke arah kamar mandi mungilnya. Ya, hari ini dia akan menghadapi Mr. Hamilton setelah penolakan memalukan kemarin. Rasanya lucu, setelah ditolak, lalu ditelepon kembali untuk interview. Tetapi siapa yang peduli? Yang terpenting dia mendapat pekerjaan untuk membantu Kattie dan membayar uang sewa flat ini.

***

Libby berhenti di depan kantor Hamilton Corp, matanya mengerjap beberapa kali, menatap bangunan yang menjulang tinggi dengan kokoh dan menawan. Libby menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Oke Lib, ini akan menjadi awal yang baik. Ini adalah harimu."

Libby berjalan penuh percaya diri memasuki lobi. Seperti yang lain dia menghampiri resepsionis, sebelum akhirnya dia naik  ke lift khusus yang tertuju langsung ke ruangan si Hamilton. Libby melihat pantulan dirinya di dinding lift, setidaknya dia sudah mengubah gaya berpakaiannya. Mengikuti aturan berpakaian para karyawan di perusahaan ini.

Kalau boleh jujur, Libby tidak terlalu nyaman. Katakanlah dia kuno, Libby terbiasa menggunakan kaos, atau celana jeans, lalu sekarang dia harus rela menampilkan sebagian lekuk tubuhnya di depan semua orang. Jika Kattie tahu, dia yakin bahwa kakaknya adalah orang pertama yang akan menghujaninya dengan cacian.

Lift berhenti, Libby keluar dengan jantung berdetak kencang. Tak lama berjalan, dia melihat seorang wanita berdiri dengan senyum menawan di depan kantor yang bertuliskan CEO.

"Emh, hai... Miss... Clark," ujar Libby seraya melihat papan nama yang ada di meja wanita berambut pirang keemasan itu. Ah, sapaan bodoh, Lyb. Lanjut Libby dalam hati seraya tersenyum canggung.

"Selamat pagi, Nona Whitney. Mr. Hamilton sudah menunggu Anda di ruangannya." Wanita ber-name tag Chintya Clark itu menuntun langkah Libby.

Chintya tampak menekan interkom, berbicara dengan sopan dan... dia sedang hamil. Libby memerhatikan dengan detail, wanita di hadapannya begitu anggun dan cantik. Tak lama dia kembali menatap Libby. "Ayo ikuti aku."

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Libby mengekor di belakang Chintya. Wanita itu membuka pintu dan tampak sebuah ruangan mewah nan maskulin di hadapan Libby. Ruangan itu didominasi warna hitam, ada beberapa barang yang Libby kira harganya mampu membayar flatnya selama berbulan-bulan. Ah tidak-tidak, setahun mungkin.

Sebuah dehaman halus membuyarkan lamunan Libby, dengan malu dia menatap ke arah suara berat itu. Mata mereka beradu, Libby dapat melihat mata sebiru laut itu menatapnya tajam, seakan-akan menerkam.

"Chintya, kau boleh keluar." Laki-laki itu berkata dengan nada berat penuh wibawa, dan tak butuh waktu lama Chintya pergi. Meninggalkan Libby hanya berdua dengan Mr. Hamilton.

"Duduklah," lanjutnya.

Libby duduk. Di balik meja Mr. Hamilton, Libby meremas jemarinya, otaknya masih berputar-putar. Dia menyusun tiap kejadian di hari kemarin yang membuatnya bisa duduk di sini. Laki-laki di hadapannya.....

"Tak mungkin," gumam Libby.

"Maaf? Apa kau mengatakan sesuatu?"

Ucapan laki-laki itu sontak membuat Libby kembali menatap mata sebiru laut itu. Libby dapat melihat, laki-laki itu menatapnya dengan teliti. Panas di sekujur tubuh menjalar begitu cepat. Libby terus mengumpat dalam hati atas kebodohannya kemarin.

"Jadi ...."

"Mr. Hamilton. Maaf." Libby berujar cepat memotong Luke. "Maaf tindakan tidak sopanku kemarin. Saya sungguh menyesal."

Luke menyeringai. Mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Ya, bisa dipahami. Lupakan saja. Jadi tujuanmu ke sini?"

"Jelas melamar pekerjaan!" Lagi, Libby terdiam, kesalahan baru yang dia perbuat. Tapi dengan cepat dia mengoreksi. "Saya melihat lowongan kerja di perusahaan Anda lewat berita di media online. Saya datang jauh dari Italia, dan saya berharap diterima."

Ya, itu bukan kebohongan. Bahkan kakaknya mengatakan Libby gila dengan mencari pekerjaan di benua lain. Tapi sungguh, Libby sudah bertekad. "Saya harap Mr. Hamilton mau mempertimbangkan," lanjut Libby bersungguh-sungguh.

Selama beberapa menit suasana ruangan itu hening. Libby sama sekali tak berani menatap bosnya, terlebih setelah perlakuan tidak sopannya kemarin.

"Baiklah, aku sudah selesai membaca riwayat hidupmu. Bersyukurlah aku langsung yang meng-interview-mu. Ya kau harusnya tahu, setelah pertemuan mengagumkan kita kemarin."

Luke masih menatap wanita yang terus menunduk di hadapannya. "Bukankah tidak sopan ketika bosmu berbicara, lantas kau tak menatapnya?"

Libby seketika mendongak ketika ucapan sarkas itu terdengar, lalu menatap Luke. Demi apa pun, dia tampan! Itu lah yang terlintas pertama kali di kepala Libby. "Emh, sorry, Sir."

***

"Dia bosku," desis Libby. Dia menyugar rambut hitam panjangnya, seakan-akan masih tak percaya bahwa laki-laki yang menjadi samsak kemarahannya kemarin adalah pemilik perusahaan yang dia datangi tadi.

Di tengah pergulatan batinnya, Libby masih bersyukur meski begitu dia tetap diterima di tempat itu. Yah, Chintya sudah mengajukkan resign kerja menjelang kelahiran anak pertamanya. Setidaknya itulah sedikit info yang Libby dapat dari Luke tadi. Selain beberapa info dari Luke, Libby juga mendapatkan banyak sekali wejangan dari Chintya, di antaranya adalah wanita itu menceritakan apa saja makanan dan minuman yang bosnya sukai.

Luke suka karyawan disiplin, Luke tidak suka ditentang, Luke begini dan begitu. Yah, demi apa pun, Libby melupakan sebagian detail itu. "Bagus, harusnya aku mencatat atau merekam ucapan Chintya tadi."

Libby teringat sesuatu, dia lupa memberitahu kabar bahagia ini kepada Katte. Tanpa menunggu waktu lama, dia merogoh tas tangannya dan mengambil benda pipih berwarna sehitam rambutnya itu.

"Halo, Katte. Bagaimana kabarmu? ... ya aku baik, aku cuma mau memberi kabar baik, aku sudah diterima di perusahaan Hamilton. ....tenang saja seminggu di sini aku masih aman tanpa kekurangan uang. Oh ya, itu saja, aku mau kembali ke flat dan sampaikan rinduku pada Jeamy. Bye."

Libby mendengkus, kebohongan kedua di hari ini. Nyatanya ucapannya kepada Katte tadi sungguh berbanding terbalik dengan keadaan yang sebenarnya. "Sorry, Katte," ujarnya pelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Beautiful ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang