01. JINX

2.2K 180 44
                                    

Hukum alam itu timpang. Sabdanya hanya kepada mereka yang kuat, perkasa, berkuasa, dan merupakan pemegang hierarki tertinggi dalam tatanan piramida biotik lah; semesta bakal berpihak. Tidak peduli kalau golongan yang berdiri pongah di pucuk segitiga tersebut adalah makhluk licik, sadis, keji, tidak bermoral, dan haus darah sekalipun. Tidak hirau juga kalau sebagian puak yang berada di bawah tingkatan itu menganggapnya tidak adil. Alam terlalu keras kepala dan picik untuk menerima kritik dan saran. Apalagi keluhan. Karenanya, seberapa banyak pun kaum tingkat bawah mengesah, selama mereka masih berupa pecundang lemah dan tidak berdaya, alam tidak akan lantas mendengarkan.

Beratus-ratus tahun lalu, jauh sebelum Abad Pertengahan dimulai, kaum penyihir adalah penguasa paling absolut di dunia. Tidak tertandingi dan jauh dari kata 'terlampaui'. Kelompok vampir yang eksklusif saja masih berada di bawah levelnya. Begitupula dengan golongan peri. Sedangkan manusia yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, meringkuk bagai kerdil pesakitan di alas piramida; ditemani nyali seukuran biji kacang polong yang pastinya tidak lebih besar daripada ketakutan dan tekanan yang seolah menyatu bersama oksigen di sekitar.

Hah! Persetan. Jika itu oksigen, mereka barangkali masih bisa bernapas barang sedikit-sedikit. Bisa jadi, malah karbon monoksida yang masuk-keluar-masuk bronkus dan terkandung dalam alveolus. Mereka hanya cukup sial saja lantaran senyawa berbahaya yang seharusnya bisa langsung mencabut nyawa si penghirupnya itu, tidak kunjung membikin mereka mati keracunan. Hanya mencengkeram merih dan membuat hari-hari neraka itu makin menjadi-jadi sakitnya.

Jika diibaratkan, manusia pada zaman itu dipandang tidak lebih baik daripada tisu bekas pakai yang tidak berguna, lecek, dan super menjijikan sebab mengandung kotoran. Mereka dirundung dan diperlakukan sangat buruk. Terlebih oleh para penyihir yang gemar berbuat semena-mena cuma demi kesenangan semata; seperti menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan ilmu sihir yang baru dipelajari.

Jika kelompok penyihir kurang kerjaan dan tidak punya otak itu sedang kambuh bejatnya, mendapati manusia yang mendadak mati bergelimpangan lantaran penyakit aneh dan di luar nalar adalah hal yang lumrah adanya.

Sampai kemudian, seseorang muncul selaku pahlawan.

Kim Namjoon, pemuda dari ras manusia itu, tidak berwujud seperti pria tinggi-besar penuh otot yang memakai jubah, topeng, maupun baju besi; bukan pula seseorang yang memiliki kekuatan setara sepuluh banteng untuk dapat menandingi penyihir yang sekadar perlu mengucapkan satu mantra buat meruntuhkan puluhan pohon beringin. Sebatas lelaki berperawakan kurus dan tidak terawat yang menghamba pada keluarga bangsawan penyihir untuk mencari makan. Hidupnya sama menyedihkannya sebagaimana jalan hidup manusia lain. Satu-satunya hal yang patut diacungi jempol dari Namjoon adalah tentang seberapa besar keberaniannya untuk memberantas kaum penyihir.

Mengagumkan sekaligus terdengar bodoh di saat bersamaan. Di saat orang lain menganggap penyihir sebagai makhluk paling disegani (lebih daripada itu, mereka ditakuti), pemuda tidak tahu diri itu justru berencana memusnahkan mereka.

"Sadarlah, Kim Namjoon. Halusinasi berlebihan itu tidak baik untuk kesehatan," ujar salah seorang manusia, sinis. Kelereng kembarnya yang sewarna kulit eboni memicing ke arah si pemuda. "Kalau para vampir yang punya kekuatan besar saja malas berurusan dengan salah satu penyihir, bagaimana bisa kau yang tidak punya kekuatan apa-apa, bergagasan untuk melumpuhkan mereka semua?"

Namjoon yang meraut ujung bambu dalam genggamannya supaya jadi damak, menjawab santai. "Aku punya keinginan yang besar untuk merdeka dari perbudakan." Ia menyertakan satu tarikan labium yang praktis menunjukkan dekik di kedua belah pipi.

Temannya mendecih. "Daripada mereka, justru malah dirimu yang mati, Bodoh!" serunya.

"Setidaknya, aku sudah mencoba," balas Namjoon. Menaruh tulup buatannya di samping cawan kecil berisi racun—yang resepnya ia dapatkan dari hasil mencuri milik tuan yang memperkerjakannya, netra jelaganya yang merenjis asa mengarah pada kepunyaan si teman yang menampakkan air muka tak setuju dengan begitu kentara. Satu tangannya hinggap di bahu lelaki yang sudah dianggapnya sebagai kakak, meremas lembut. "Cepat atau lambat, ujung-ujungnya, kita akan mati. Entah karena usia ataupun lantaran penyakit buatan penyihir-penyihir itu; seperti bagaimana saudara-saudara kita yang lainnya. Jadi, aku cuma berpikir, kenapa kita mesti mati sebagai pecundang, jika kita bisa mati sebagai pahlawan?" Terakhir, kalimatnya dilontarkan dengan pandangan menerawang jauh ke depan; rencana yang dirancangnya sejak lama membayang dalam benak. Katanya, "Lagipula, sudah sepatutnya para penyihir yang merupakan keturunan makhluk dari neraka, kembali ke tempat asal mereka."

The Orphic MaleficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang