Aroma tanah yang khas sesaat setelah tersiram rintik hujan. Namun, kali ini bukan petrichor yang kucium, melainkan bau yang sangat tak sedap. Entah, aku juga tak tahu apa nama dari aroma itu, yang kutahu kini, tanah yang biasanya tergenang air hujan kini berubah menjadi genangan darah. Mual sekali, tapi bagaimana lagi, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan menunggu bantuan yang entah darimana datangnya. Kotaku dibumihanguskan alam, kini semuanya telah rata dengan tanah. Tanah yang sangat kugemari aromanya kini menjadi tanah yang amat sangat kubenci. Terlebih saat melihat ibuku tergeletak tak bernyawa dihadapanku, tanah berwarna coklat terang pun menggelap oleh darahnya.
Tak lebih dari dua puluh menit lalu aku dan ibuku saling melempar candaan, tertawa girang saat mendengar lelucon yang tersiar dari radio sembari memakan kukis yang dibuatnya. Tiap menit aku mengutarakan rasa lapar yang tak henti membuat ibuku jengkel dan membuatkan kue, ayolah ini belum waktunya makan siang, katanya. Aku mendengus kesal, mengapa harus ada jam makan jika kita bisa makan sewaktu-waktu saat lapar. Ibuku hanya menggeleng. Namun kini, jangankan berkata lapar, mulutku bahkan tak dapat mengeluarkan sepatah kata, analogi yang buruk saat aku bahkan tidak dapat menyuarakan satu hurufpun dari mulutku.
Aku menoleh menatap kakiku yang terluka akibat tertimbun reruntuhan yang entah dari puing rumah siapa. Yah, untung saja hanya kakiku yang tertimbun, tak seperti ibuku yang seluruh tubuhnya tertimbun reruntuhan. Tega? Tidak, bukannya aku tega berkata seperti itu. Katakan aku sudah mengubah pemikiranku dalam 5 menit terakhir, yah meskipun aku seperti orang gila di lima menit pertama. Di menit ke enam aku mulai sedikit waras, tak mungkin aku terus-terusan berteriak seperti orang gila di depan banyaknya tumpukan mayat sementara kakiku terhimpit bangunan dengan darah bercucuran. Tentu aku harus menyelamatkan kakiku terlebih dahulu ketimbang menangisi nasibku. Itu tidak mudah, aku hanya perempuan kerempeng yang berumur 16 tahun disaat bangunan yang dilihat saja dapat disimpulkan kalau itu dua kali lebih berat dariku. Sepuluh menit aku berusaha menarik kakiku, untung saja kekuatanku muncul lebih cepat daripada emosiku sehingga aku dapat mengeluarkan kakiku sebelum dengan sebal aku memotongnya. Ibuku selalu memanggilku si sumbu pendek, meski cepat berpikir (ketimbang anak-anak seusiaku lainnya) aku juga cepat tersinggung. Lupakanlah aku si sumbu pendek, mari kita pikirkan bagaimana nasibku selanjutnya.
Aku menatap nanar pemandangan dihadapanku, aku bahkan dapat melihat toko buku yang sering kukunjungi berpuluh-puluh kilometer jauh disana, meski hanya teraisa reruntuhan tapi aku tahu persis tempatnya. Semua disekelilingku benar-benar rata, layaknya lahan kosong meski tidak benar-benar kosong.
Aku melihat ke arah kakiku, darah segar masih bercucuran meski tidak sederas sebelumnya. Aku menoleh kesana kemari, meraih sepotong baju yang entah milik siapa dan merobeknya memanjang. Dengan kesusahan aku melilitkannya pada kakiku, berharap itu dapat menyumbat aliran darah yang keluar. Kini misi menyelamatkan kaki sudah selesai, sisa bagaimana aku tetap hidup tanpa makan minum hingga entah berapa lama. Ayolah, aku bahkan tidak yakin wilayah diluar sana sudah mengetahui kehancuran kotaku atau belum, melihat seluruh saluran komunikasi disini yang audah tidak dapat berfungsi. Mungkin saja petugas pelayanan masyarakat kini sudah tergeletak ditempatnya masing-masing.
Katakan aku tidak percaya adanya Tuhan ataupun Dewa yang disembah kebanyakan orang, tapi kali ini aku sedikit berterima kasih pada entah siapapun itu karena hujan yang menhancurkan kotaku masih tetap turun, meski tidak sebadai tadi. Setidaknya aku dapat sedikit meredakan dahagaku sejenak dengan air hujan. Setelah kira-kira dua teguk air hujan mengaliri kerongkonganku, aku berusaha bangkit. Berjalan pincang menuju toko yang sebelumnya berada diujung jalan, meski kini telah hancur. Aku berjalan menjauh, meninggalkan mayat ibuku bersama dengan mayat-mayat tetanggaku. Oh, tidak lupa aku membawa kain yang entah bekas siapa sebagai petunjuk jalan. Siapa tau akan ada tim SAR yang akan menemukanku, setidaknya aku dapat meminta mereka mengevakuasi mayat ibuku.
Entah berapa lama aku berjalan namun toko kelontong itu masih belum terlihat. Padahal biasanya hanya butuh waktu 7 menit untukku sampai disana saat dimintai tolong oleh ibuku untuk membeli beberapa bumbu dapur, meski saat itu aku menggunakan sepeda bukan berjalan dengan kaki pincang. Aku mendengus kesal dengan hujan yang tak kunjung henti, aku tidak dapat melihat sekeliling dengan jelas, bulu mataku terasa berat tertimpa air. Akhirnya setelah berjalan sekian puluh menit, aku menemukan toko kelontong langgananku. Seperti yang kuduga, bangunan itu hancur dan rata dengan tanah. Aku menatap pojok kanan ku, itu om lien, warga pribumi bercampur ras cina pemilik asli kelontong kecil di daerahku, beliau sangat baik padaku, ya, karena aku sering membeli barang dagangannya. Aku yang biasanya melihat om lien memarahi karyawannya kini melihat ia tergeletak tak bernyawa bersama dengan para karyawan tokonya.
Aku menoleh untuk mencari makanan dan minuman apa yang sekiranya bisa membuatku bertahan hidup lebih lama. Beberapa makanan ringan tergeletak berserakan di sana, aku memilah mana yang dapat kumakan dan mana yang dapat bertahan lama. Sedikit sulit menjangkau makanan yang lain karena banyak yang tertimbun bangunan, tak mungkin aku mengambilnya dengan keadaanku yang seperti ini. Yah, jika ingat akan kuambil jika keadaanku sudah membaik.
"Shhh, t-tolong aku."
Aku sedikit meremang, terkejut. Sejenak aku menghentikan kegiatanku. Menelusuri apakah itu suara manusia atau hanya halusinasiku semata. Tepat sekitar 3 meter dari tempatku berdiri, seorang anak kecil berusia 9 tahun tampak terhimpit bangunan, aku tahu dia. Dia Han, anak om lien. Aku buru-buru menaruh makananku dan berlari ke arah Han untuk membantunya.
"Han, ini kakak, pegang tanganku erat-erat," ujarku panik, aku bahkan melupakan rasa sakit kakiku. Han berkaca-kaca menatapku. Ia memegang erat tanganku sementara aku berusaha menariknya. Beruntung badannya yang kecil membuatnya tak berimpit kencang pada bangunan.
Jika saja itu bukan Han, aku enggan membawa seonggok daging tak berguna bersamaku, pikirku.
Tak banyak luka ditubuh anak itu, hanya beberapa luka ringan akibat gesekan reruntuhan tembok saja, ya, aku tak harus menghabiskan banyak waktu untuk merawat orang terluka. Kami terduduk berhadapan, han menatapku erat hendak menangis, siapa yang tidak menangis di kondisi seperti ini? Aku memakluminya. Aku menepuk pundah han ringan, tak melepas tatapanku pada mata sipitnya.
"Kau tau, kita tak punya waktu untuk meratapi nasib, luapkan emosimu kuras air matamu hingga kering. Setelah kau siap, bantu kakak dan kita akan bertahan entah sampai kapan," ucapku tegas, han menganggu dengan tetesan air mata terjatuh dari kedua bola matanya.
Aku tahu Han berbeda dengan anak lain diusianya, tak lebih dari lima belas menit ia menangis, anak kecil itu mulai mendatangiku yang tengah sibuk menjarah toko ayahnya sendiri. Tanpa bertanya padaku ia pergi menjauh, menyeret karung yang berisi tepung dan menumpahkan isinya. Aku hanya mengekori kegiatannya dengan ekor mataku, tak berniat membatunya juga, ayolah, karung yang kehilangan lebih dari setengah isinya karena terkoyak runtuhan.
Han mengikat kan karung yang koyak dan memberikan padaku.
"Gunakan ini agar kita dapat membawa lebih banyak makanan," ujarnya sembari memberikan karung yang didapatnya tadi.
"Kukira kau akan kesal karena kakak menjarah toko ayahmu," ejekku.
"Takkan ada yang membelinya juga," jawabnya.
Aku memasukkan seluruh makanan yang sudah kukumpulkan, sementara Han mencoba mencari karung lainnya.
"Han," panggilku.
"Ada apa?" Sahutnya.
"Hari sudah semakin petang, hujanpun sudah reda. Kita akan bermalam disini, kau tak apa kan tidur disebelah mayat ayahmu?" Tanyaku. Han menghampiriku yang dan dudk disebelahku.
"Bohong jika aku mengatakan tak apa, kak. Tapi, aku akan mengikutimu," jawabnya.
Aku hanya mengangguk dan mulai membaringkan diriku begitu juga Han.
Ya, setidaknya saat ini aku tidak tidur dikelilingi puluhan mayat sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Historical FictionKehancuran kota Ini semua terjadi berkenaan dengan rintik hujan membasahi bumi. Ini semua tentang akal sehat yang terus berpacu agar tak sesat. Ini semua tentang ide gagasan yang terkadang tak sejalan dengan syariat iman. ... Hujan, akankah hujan...