(Sungguh kisah ini bukan untuk dicontoh. Kisah ini untuk menyadarkan kita, betapa besar pengaruh orang ketiga di dalam rumahtangga kita.)
****
2005
Hari pertama aku menginjakkan kaki di Jakarta, mendapat sambutan yang luar biasa dari alam semesta. Hujan mengiringi perjalananku hari ini. Bermodalkan catatan alamat rumah kakak yang lokasinya belum sama sekali aku ketahui.
Sore itu, aku sudah memberi kabar kepada Kak Wati untuk datang menjemput ke terminal Pulogadung.
Namun, Kak Wati bilang tak sempat menjemput, karena terpaksa harus lembur. Maklum, sebagai buruh tak bisa menolak perintah atasan untuk tidak ikut lembur.[Kak, jemput Leni ya di terminal Pulogadung. Leni sudah sampai.]
Aku mengirim pesan pada Kak Wati.
[Abangmu yang akan datang, Len. Kakak nggak bisa jemput. Gak apa-apa, ya?]
[Oke.] Jawabku terpaksa. Percuma aku bilang tidak, pastinya akan tersasar bila mencoba jalan sendiri.
Kota ini baru saja berkenalan denganku, mana mungkin bisa sampai ke alamat yang diberikan Kak Wati.
Hujan semakin besar. Baju yang kukenakan pun basah, sehingga bayangan pakaian dalam yang aku kenakan mudah terlihat. Aku tidak suka mengenakan kaus dalam. Ada handuk yang kubawa dari kampung, itulah yang kupakai untuk menutupi bayangan dari dalam kaus itu.
Aku menunggu Bang Reno di halte. Banyak orang lalu lalang, banyak juga yang berjualan di pinggir jalan.
Sebenarnya aku lapar, namun pikirku lebih baik makan bersama dengan Kak Wati di rumah.
Aku memandang sekeliling, suasana kota langsung terasa. Banyak asap knalpot di sana-sini. Belum lagi laki-laki yang seperti preman juga memenuhi terminal ini.
Sering aku menonton acara televisi yang menceritakan kerasnya kehidupan di kota Jakarta ini. Ibu bilang aku harus menjaga sikap dan bersikap sopan pada yang lebih tua.
Berada di Jakarta adalah pilihanku setelah dinyatakan lulus dari SMA. Bukan karena aku ingin bebas dari peraturan orangtua di kampung, namun aku ingin mendulang sukses di kota ini.
Ibu berpesan untuk menjaga harga diriku sebagai perempuan. Karena jika kehormatan kita hilang, maka hilang pula masa depan yang indah.
"Ingat ... kamu harus jaga diri dengan baik. Jaga kehormatan ayah dan ibumu. Jangan susahkan kakakmu, ya?" Ibu mencium keningku saat kami saling berucap kata selamat tinggal.
"Iya, Bu. Ibu juga baik-baik, ya? Leni akan pulang sesekali menengok ibu dan ayah," jawabku sambil memeluk ibu.
Abang iparku datang dengan mengendarai motor bebek. Kami sudah saling kenal sebenarnya. Saat mereka menikah di kampung, aku sempat mengobrol dengannya.
Aku suka cara Bang Reno bercanda. Dia memang lelaki yang humoris. Ya, pantas saja Kak Wati memilihnya sebagai suami. Selain humoris, Bang Reno pun memiliki wajah yang tampan.
"Leni, udah lama nungguin, ya?" sapanya.
"Baru 1 jam, Bang." Aku tak bisa berbohong. Apalagi memang benar aku sudah 1 jam menunggu iparku itu dengan pakaian yang basah kuyup.
"Maaf, ya? Abang tadi mesti ambil helm dulu ke kontrakan. Makanya agak lama."
"Iya, gak apa-apa, Bang."
"Ya udah, naik yuk. Udah hampir malam. Kamu juga sudah basah kuyup begitu," ucapnya seraya menyerahkan helm padaku.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
DINODAI ABANG IPAR
General FictionKisah Leni, perempuan yang baru lulus SMA. Datang ke Jakarta untuk meraih cita-citanya menjadi guru. Tapi, semua tidak berjalan dengan lancar. Leni harus kerja dulu dan terpaksa tinggal dengan Kakak dan juga Abang iparnya. Simak kisah Leni ya!