POV Leni
****
Oktober 2004
Sebentar lagi aku lulus SMA, sisa 1 semester lagi. Keputusan untuk pergi ke Jakarta semakin menggebu-gebu. Ibu sering mengingatkan aku tentang dunia perantauan. Banyak orang yang mendulang sukses dengan usaha dan kerja keras yang maksimal.
Siang itu Bu Rosmin mendatangi rumah kami. Katanya, sayang kalau kecerdasan akademik yang aku miliki tidak dilanjutkan ke perkuliahan. Aku tak menampik bahwa memang betul di kelas pun aku mendapatkan rangking pertama. Jika di sekolah, aku mendapat juara umum ke-3.
Banyak prestasi yang aku ukir selama pendidikan. Dari kecil pun ibu dan ayah sudah mendidik semua anaknya agar bisa berprestasi.
Supaya kelak menjadi orang sukses katanya.
"Bu, Leni ini siswa berprestasi di sekolah. Sayang kalau tidak lanjut ke universitas," ucap Bu Rosmin selaku wali kelasku.
Ibuku tahu betul soal prestasi anaknya di sekolah. Karena setiap mengambil raport, pastilah guru memberitahu kalau aku meraih rangking 1.
"Iya, Bu. Saya tahu, kok. Tapi memang kondisi keuangan kami tidak cukup untuk membiayai kuliah Leni nantinya. Masih ada adiknya si Toni, yang harus menyelesaikan sekolahnya juga."
"Nggak mau coba program beasiswa? Bisa kok di universitas negeri. Biar kami bantu prosesnya." Bu Rosmin terus berusaha agar ibuku luluh.
"Maaf, Bu. Terima kasih untuk tawarannya. Namun, saya belum bisa jamin untuk biaya lainnya nanti. Misal untuk kost, makan dan lainnya. Lebih baik dia bekerja dulu di Jakarta untuk mengumpulkan uang, lalu bisa sambil kuliah," ucap ibu pada Bu Rosmin.
Aku yang sedari tadi hanya mendengar dari pintu kamar, dipanggil oleh ibu untuk duduk bersama mereka. Aku paham maksud ibu, supaya Bu Rosmin percaya kalau aku yang berbicara langsung padanya.
"Sini, Leni, duduk ...."
Kucium punggung tangan wali kelasku itu. Dia memandangiku dengan seksama. Bu Rosmin tahu betul soal cita-citaku untuk menjadi guru. Kami pernah mengobrol saat les mata pelajaran biologi.
"Leni, apa betul kamu mau merantau ke Jakarta, Nak?" tanya Bu Rosmin.
"Iya, Bu. Leni mau ikut jejak Kak Wati. Merantau dan mewujudkan mimpi Leni." Aku tak mau membuat ibu malu.
Untuk egois pun tak mungkin.
Mana tega aku membiarkan ayah yang seorang petani itu untuk kerja keras mati-matian, demi mewujudkan mimpi anaknya.
Sekolah sampai tingkat SMA saja sudah cukup menguras keringatnya. Apalagi kalau harus sampai kuliah?
Untuk membeli pakaian dalam mereka saja kadang berpikir keras. Lebih baik uangnya ditabung demi membayar SPP anak-anaknya.
Pernah aku melihat celana dalam ibuku sudah sobek atau kendor. Banyak tambalan jahitan di celana itu, atau kadang dipasang karet kolor intuk yang mulai kendor.
Miris memang, perjuangan orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya.
"Kalau memang itu keputusan Leni, ibu mendukung. Ibu hanya menjalankan perintah kepala sekolah. Katanya untuk siswa yang berprestasi, kalau bisa dibantu sampai bisa dapat beasiswa di universitas," jelasnya.
"Terima kasih, Bu. Leni memilih untuk kerja dulu aja, Bu. Kuota beasiswa bisa diberikan kepada anak yang lainnya."
Aku mencoba tegar. Padahal aku ingin juga posisi itu. Siapa sih yang tidak ingin kuliah? Semua anak SMA yang lulus pasti ingin melanjutkan pendidikan mereka, dan bisa meraih cita-citanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
DINODAI ABANG IPAR
General FictionKisah Leni, perempuan yang baru lulus SMA. Datang ke Jakarta untuk meraih cita-citanya menjadi guru. Tapi, semua tidak berjalan dengan lancar. Leni harus kerja dulu dan terpaksa tinggal dengan Kakak dan juga Abang iparnya. Simak kisah Leni ya!