Perih

8 1 3
                                    

Hijau dedaunan pinus menghiasi senja kala itu. Wangi bunga pinus semerbak, menjalar di seluruh penjuru. Pohon pinus berjajar rapi, meliuk, menari bersama deru angin berhembus.

'krak', suara ranting yang patah terinjak kaki Nana yang jenjang. Rupanya ia sedang berjalan-jalan di hutan Pinus di bukit kecil pinggir kota, bersama Dion, sosok laki-laki yang dicintainya dalam diam.

"Look! Ada kursi nganggur tuh, duduk di situ yuk... Kayaknya sunset kliatan jelas dari situ." Kata Dion sambil mengangkat jari telunjuknya ke arah sebuah kursi kayu di tepi bukit. Kursi itu sepertinya memang disiapkan untuk menikmati pemandangan indah kala senja. Apalagi kalau bukan cahaya jingga yang dipancarkan matahari saat tenggelam.

Nana mengangguk tanda setuju, diiringi senyum manis yang menggemaskan. Mereka berdua berjalan melewati jalan setapak diantara pepohonan Pinus rindang, diiringi suara kicau burung, sungguh indah senja kala itu.

Setibanya di tepi bukit, Dion menggenggam tangan Nana, menariknya menuju kursi yang ia tunjukkan tadi. Nana tersipu, pipinya memerah, ini pertama kalinya tangganya digenggam laki-laki lain, selain ayahnya.

"Kamu suka?" Ucap Dion memecah keheningan.

Nana mengangguk "Indah sekali, tentu aku suka. Aku ingin waktu berhenti di sini. Saat ini, bersamamu, dengan pemandangan seindah itu, aku tak ingin ini cepat berlalu. Tapi aku tau, itu tidak mungkin".

"Sudahlah, jangan bersedih... Kita bisa kesini lagi lain kali." Dion berusaha menghibur Nana.

"Benarkah? Aku senang sekali jika memang bisa begitu" Nana kembali tertawa gembira, wajah cerianya telah kembali.

Mereka berdua menghabiskan senja yang indah disana, kemudian pulang saat matahari sudah tak terlihat lagi. Dion mengantar Nana pulang. Mereka datang ke hutan dengan bersepeda, Dion mengendarai sepeda biru kesayangannya, sedangkan Nana mengayuh sepedanya yang cantik, dibalut cat mengkilat warna merah.

Tak terasa waktu berlalu, ayam telah berkokok, bersaut-sautan, pertanda matahari telah hadir kembali menyapa pagi yang sejuk. Nana terbangun dengan perasaan bahagia mengingat senja yang indah di hutan Pinus bersama Dion kemarin sore. Ia sangat bersemangat memulai harinya. Tanpa membuang waktu, ia pergi mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah. Tentu ia harus sekolah, karena Nana masih remaja, murid kelas 11 SMA Harapan Bangsa.

Tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Apa boleh buat, Nana tidak bisa bersepeda ke sekolah seperti biasa. Dia mengambil payung, berpamitan pada ayahnya, kemudian berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Nana berjalan sambil bernyanyi, mengikuti alunan nada lagu yang ia dengar dari ponselnya melalui earphone yang tergantung rapi di telinganya.

Tanpa sengaja Nana melihat Dion sedang memasukkan koper ke dalam mobil papanya. Tanpa ragu, Nana berlari ke arah Dion. Namun ia sudah terlambat. Sebelum Nana sampai di depan rumah Dion, Dion sudah melaju bersama papanya mengendarai mobil Hyundai Navy keluaran tahun 2019. Nana terpaku di depan rumah Dion, tempat terakhir dia melihat sahabatnya itu sebelum ia pergi tanpa pamit. Tanpa terasa, air mata Nana menetes, bulir demi bulir mengalir, seolah tak mau kalah dengan derasnya hujan yang mengguyur. Nana tak mengerti kenapa Dion pergi, padahal baru kemarin sore Dion berkata akan sering-sering mengajak Nana ke bukit pinus, melihat matahari terbenam. Namun yang terjadi, Dion pergi, membawa koper besar, tanpa pamit. Meninggalkan Nana sendiri dengan penuh kata tanya dihatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang