Hampir seminggu sudah aku berada di pedesaan yang asri ini. Desa yang sudah sepuluh tahun kutinggalkan demi mengejar impian di kota seberang itu, rupanya sudah berubah banyak termasuk sungai tempatku dan kawan-kawan bermain dulu sudah dijadikan tempat wisata yang indah. Di sinilah aku duduk sekarang di atas bangku yang berlapis hamparan rumput hijau memandang permukaan danau buatan yang airnya tersapu angin sedikit berombak di tempat.
Aku tersenyum menikmati suasana yang sejuk dan mendengarkan kicauan para anak kecil yang tengah berwisata dengan keluarga. Jadi teringat masa lalu ketika kecil.
Teringat juga dengan seseorang yang kini sedang kutunggu kehadirannya. Teman masa kecil. Entah bagaimana wujud rupanya sekarang. Aku tak sabar bertemu dengannya.
"Udah lama nggak ketemu, ternyata kamu nggak berubah. Suka senyum sendiri menikmati hembusan angin." kelopak mataku terbuka saat suara baritone terdengar kemudian aku alihkan wajahku menatap sosok tegap di hadapku.
"Kamu juga nggak berubah. Selalu mengomentari apa yang ku lakukan''
sahutku sembari menahan desir di dada. Dia tersenyum lalu terlihat lesung pipinya yang ada di sebelah kanan sama seperti lesung pipiku.
"Kita sama-sama nggak berubah. Hanya fisik yang berubah, sikap jangan. Jangan ubah sikap kamu yang dulu terhadap saya. Itu yang saya rindukan." katanya, menatapku dengan pancaran mata yang tak bisa kumengerti. Oh Tuhan, aku merindukan pria ini!
Ryan tiba-tiba menarik tubuh lalu memeluk-ku dengan erat.
Aku tak bisa berkutik selain membalas dekapan tersebut. Mengikis kerinduan pada diri masing-masing, menyatukan kembali keretakan hati yang telah lama terpisah.
"Saya rindu. Dulu, sekarang, hingga esok." lirihnya di pundakku. Aku mengeryit bingung hingga kulepas perlahan pelukannya.
"Esok?" kataku jenaka.
"Ya. Karena sampai kapanpun saya akan tetap rindu kamu. Selama rasa sayang itu ada, rindu tidak akan pernah terobati, Rachel."
"Kata Dilan, rindu itu berat yan. Jangan membebani dirimu dengan rindu pada saya."
"Rindu saya untuk kamu bukan sebuah beban, Chel.'' Ryan dan segala keras kepalanya membuatku tersenyum.
"Ah sudahlah, apa kabarmu?" ujarku.
"Sebelumnya tidak baik. Sekarang membaik setelah saya bertemu dengan cecil saya." sahutnya sambil mencubit pipi kiriku dengan pelan. Aku tersipu mendengar panggilan Chel darinya.
"Gombalan yang receh." ejekku.
"Dua ratus perak." sahutnya membuatku tertawa.
"Sudah semakin siang, saya harus pulang. Kakek pasti nyari saya." lirihku. Ryan justru tersenyum, kupikir dia akan kecewa karena hanya sebentar bertemu denganku.