Part 3: Last Vengeance

34 9 3
                                    

"Anak-anak, maaf mengganggu kegiatan pembelajaran kalian. Hari ini, kakak mau mengumumkan bahwa sekolah ini akan mengadakan perkemahan selama dua hari. Perkemahannya berlangsung minggu depan pada hari Rabu sampai dengan hari Kamis di Anterra." Jelas Kak Ghania, pembina pramuka di sekolah ini.

Lamunanku buyar saat seisi kelas bersorak ria. Mereka senang bukan karena perkemahan, tapi karena hari masuk sekolahnya hanya menjadi dua hari. Lagipula pasti banyak yang tidak akan ikut acara ini.

Anterra adalah daerah pegunungan di sebelah barat kota Teknajaya, berjarak delapan kilometer dari Hutan Akrof. Menurut artikel yang kubaca, jika kita pergi ke arah selatan pegunungan, maka terdapat perdesaan kecil yang merupakan penduduk asli sana. Desa tersebut bernama Koarra, dan hebatnya tempat itu tidak pernah terjamah oleh teknologi masa kini. Mereka hanya memanfaatkan bahan-bahan alam. Orang-orang di sana melarang keras teknologi. Mereka pikir teknologi akan membuat murka dewa alam yang mereka percayai.

Tapi, sekolah mengadakan perkemahannya di pegunungan selatan. Di situlah titik terindah Pegunungan Aterra. Bahkan ada tempat yang di mana rerumputannya berwarna biru tua keunguan, aku belum menemukan penjelasan secara saintifik mengapa rerumputan itu berwarna aneh. Satu lagi, di situ satu-satunya habitat kunang-kunang yang belum punah. Habitat alami kunang-kunang hanya ada di sana sekarang. Sedari kecil aku ingin sekali melihat kunang-kunang.

Tapi kali ini aku tidak akan ikut perkemahan. Aku akan memanfaatkan itu untuk penyelidikan organisasi gelap yang kutemukan kemarin. Meski berat rasanya karena aku tidak akan melihat kunang-kunang, dan belum tentu juga perkemahan tahun depan diadakan di tempat yang sama, aku tidak peduli. Penyelidikan ini jauh lebih penting daripada perkemahan.

"Formulir pendaftaran sudah kakak kirim ke learn-tab kalian ya, jangan lupa sampaikan ke orang tua kalian. Terima kasih," ucapnya kemudian berlalu keluar kelas.

Pas sekali, Kak Ghania keluar tepat bunyi bel istirahat. Semua anak-anak di kelas berhamburan keluar. Beberapa ada yang memilih menetap di dalam kelas. Aku membuka learn-tab untuk sekadar melihat formulir pendaftarannya.

Learn-tab seperti tablet biasa. Hanya saja ini khusus digunakan untuk belajar dan menerima informasi dari sekolah. Tidak ada hal-hal yang di luar pelajaran, hanya berisi soal-soal, catatan, dan e-book paket.

Sudah selesai, aku bangkit dari tempat dudukku dan pergi keluar. Kelas masih saja ramai meski hanya lima orang yang tinggal.

Aku memasuki perpustakaan. Seperti biasa udara dingin langsung menusuk kulitku dan suasananya sangat sepi. Memasuki zaman industri 4.0 membuat buku semakin tertinggal dan dianggap kuno. Buku-buku kertas sekarang banyak yang diubah menjadi e-book. Sepertinya hanya aku yang masih bertahan menyukai buku kertas.

Setelah mengisi daftar hadir, aku langsung menuju sofa merah yang letaknya di pojok ruangan dikelilingi labirin rak buku. Spot paling tersembunyi dan terjauh yang menjadi tempat favoritku untuk berdiam diri di sana. Ada jendela besar terpajang di sebelah kanan sofa

Kududuki sofa dan menyandarkan punggung ke dinding. Kedua tanganku dilipat ke belakang, sebagai bantal kepala.

Di luar, langit ditutupi awan gelap. Hujan deras menampar bumi. Membuatku teringat oleh teori kepunahan dinosaurus, yang dimana terjadi hujan meteor di jutaan tahun lalu membumihanguskan habitat dan populasi dinosaurus. Suara rintik-rintiknya amat menenangkan. Cuaca favoritku.

Di sini tempatku biasanya menenangkan diri atau hanya ingin menyendiri saja. Sekarang aku sedang tidak ingin membaca buku. Hanya menganalisis pernyataan Paman Don tentang bukti pelaku. Di tempat seperti ini memudahkanku untuk berpikir lebih dalam.

Berawal tragedi ledakan bom, pelaku yang belum ditemukan, penemuan narkotika di truk eskrim, hingga tempat rahasia di dekat Hutan Akrof, semuanya akan terungkap oleh tanganku sendiri.

THE QUISLING HEROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang