Esok Kan Bahagia

42 3 6
                                    

Basah, tubuhku dingin diguyur hujan deras. Langit yang biasanya menampakkan diri dengan indah berubah dipenuhi awan pekat menakutkan. Menjatuhkan bulir-bulir tirta tanpa henti, membawa semburat cahaya putih. Aku menerjang lebatnya hujan. Teringat akan adikku yang mungkin sedang jatuh dalam mimpi.

Setelah memasuki gerbang kampus, memarkir motor. Seketika hujan turun. Aku tinggalkan perkuliahan yang akan dimulai. Sempat ditahan oleh teman-teman sejawat. Kuabaikan. Aku harus segera pulang, apapun kondisinya. Tak ada yang lebih penting dari adik perempuan kecilku. Adikku takut dengan suara petir. Dan dia butuh pelindung untuk memeluk tubuhnya yang kecil.

Lima belas menit aku tarik gas motor tua peninggalan ayah. Sampai pada sebuah rumah kecil yang menjadi tempat berteduh bagi kami sekeluarga. Segera aku tancapkan kunci dan kukuakkan pintu tergesa-gesa. Langsung menuju kamar adikku, mendapatinya lepas dari tidur. Aku peluk dengan sangat erat adikku. Petir menampakkan suaranya sesekali.

Adikku bernama Ilya, baru berusia empat tahun. Ilya hanya satu pekan merasakan kasih sayang seorang ayah. Itupun mungkin Ilya sudah tak mengingatnya. Ayah meninggal seminggu setelah ibu melahirkan Ilya karena penyakit jantung yang dideranya. Untungnya Ilya tumbuh menjadi anak yang mandiri, setiap hari dia harus ditinggal ibu yang pergi bekerja dan aku yang sibuk dengan aktifitas perkuliahanku.

***

Dua jam berlalu, dengan hujan yang masih enggan untuk mereda. Gemuruh suara petir, Ilya semakin erat memelukku, menutupi lingkar telinganya. Entah mengapa hujan kali ini membuat perasaanku semakin tidak enak. Ada sesuatu yang sangat aku khawatirkan. Aku mendekat ke jendela dengan Ilya yang masih dalam dekapanku, memandang jauh. Berharap sesuatu tidak datang.

Hujan masih dengan intensitas tinggi tapi suara petir tak terdengar lagi. Ilya membangunkanku dari lamunan. Memintaku untuk membacakan cerita kesukaannya, 'Petualangan Bippo.' Aku ajak Ilya beringsut dari kamarnya menuju ruang tamu, mengambil komik 'Petualangan Bippo.' Aku mulai membaca komik tersebut yang dimulai dengan Bippo yang telat bangun tidur. Mata Ilya terlihat bergairah, memandangiku lekat-lekat. Tapi semakin lama aku membaca, perasaanku semakin tidak nyaman. Mataku menyelidik, memandang ke luar rumah.

Aku terbelalak melihat orang-orang berhamburan ke luar rumah. Membawa tas dan berlari. Ada yang naik kendaraan dengan kencang. Wajah-wajah kepanikan. Apakah kekhawatiranku akan menjadi kenyataan? Aku harap tidak.

Tapi harapanku sia-sia. Air mulai masuk, merangsek melalui celah bawah pintu. Menggenang secara perlahan. Sontak aku langsung mengemasi barang seadanya, tak lupa pakaian kami bertiga. Kulihat kerumunan orang yang tunggang-langgang. Salah seorang berteriak dari kejauhan, "Tanggul jebol!"

Di depan, aku mengaitkan tas dengan kedua pundakku. Di belakang, Ilya dalam cengkeraman kuat. Hujan masih lebat. Namun aku masih memiliki satu harapan sekarang. Di antara banyaknya orang yang berhamburan dan air yang terus datang, aku masih berharap kedatangan ibu. Begitupun dengan Ilya, dia menangis mencari ibu. Mungkin mustahil. Orang-orang terus memintaku untuk meninggalkan tempat segera. Ilya masih menanyakan ibu. Tapi sebuah tindakan harus diambil. Menunggu ibu datang atau terjebak bersama adik kesayanganku.

Mungkin sedikit terlambat. Aku naik ke motor diikuti Ilya yang masih terikat dengan tangisannya. Menyuruh Ilya berpegangan kuat. Semoga motor tuaku kuat menerjang air yang sudah naik setinggi mata kaki. Orang-orang sudah jauh meninggalkan. Menyisakan kami berdua dan beberapa orang lagi yang masih berusaha menyelamatkan barangnya. Ilya menangis, air matanya bercampur dengan bulir hujan. Dalam lubuk hati, aku merasa kasihan melihat Ilya. Aku tarik gas sekuat-kuatnya. Di tengah hujan yang seolah tak sudi untuk pergi, aku berharap semoga ibu juga selamat dan menemui kami di tempat pengungsian nanti.

***

Di pengungsian, semua orang terlihat muram. Ada beberapa terlihat sesenggukan menangis. Anak-anak bergulung dalam dekapan ibunya masing-masing. Bencana ini memang memukul kami semua. Pertama kali kami merasakannya. Biasanya tanggul yang melindungi daerah kami sangat kokoh. Tapi ada kalanya tanggul itu juga merasakan kelelahan. Hari ini jebol, tak kuat menahan derasnya aliran sungai ditambah hujan yang sangat lebat.

Kami berdua duduk di salah satu sisi tenda pengungsian. Ilya terus menanyakan ibu. Tapi aku selalu menjawab, "Ibu akan baik-baik saja dan segera berkumpul dengan kita." Ketika mendengar jawaban itu, Ilya sejenak tenang. Tapi tak berselang lama dia akan menanyakan hal yang sama. Meski terlihat tegar, namun aku juga sama seperti adikku. Rapuh. Otakku terus memikirkan ibu dan berharap dia akan menemui kami.

Bantuan dari kota mulai berdatangan. Para petugas dengan sigap menurunkan logistik. Mulai dari pengisi perut hingga penghangat tubuh. Sangat membantu kami semua. Ketika semua mata terfokus pada hal tersebut, mataku masih menyelidik, menanti kedatangan ibu. Begitupun Ilya, dia masih sesekali menangis dan memanggil nama ibu. Aku kembali memeluk tubuh Ilya. Tak kusangka, saat usianya yang masih belia, Ilya harus merasakan musibah seperti ini.

Hujan akhirnya semakin reda. Dari kejauhan terlihat seorang perempuan datang dengan langkah rapat membelah rinai. Masih memakai pakaian kerja berwarna biru. Raut mukanya terlihat cemas, matanya sembab. Kepalanya menyelidik ke semua arah.

IBU. Ilya berteriak memanggil, begitupun aku. Ibu berlari ke arah kami, mengabaikan rasa lelah yang mungkin menyelimuti sekujur tubuhnya. Merangkul, mengecup kening kami berdua. Ilya jatuh dalam dekapan surganya, mengeluh karena dia takut kalau surganya tak bisa menemui kembali.

Ibu meminta maaf kepada kami berdua karena meninggalkan kami saat banjir datang. Aku menolak. Kau bukan meninggalkan kami, Bu. Kau mencari nafkah untuk menghidupi kami berdua. Mungkin tak seharusnya ibu meminta maaf. Tapi dia masih mengatakan kalimat itu. Ah, ibu, kenapa kau masih merasa bersalah oleh sesuatu yang di luar kendalimu?

***

Hari semakin malam. Menyisakan rinai yang masih setia pada atasannya. Perut-perut para pengungsi sudah terisi. Segera mereka jatuh dalam tidur, sedikit menenangkan hati dan pikiran.

Ketika semua orang terlelap, aku menatap malam beserta rintikannya. Satu dua rintik yang akan menjadi masalah ketika datang bebarengan. Angin malam menelisik, menembus jaket kulit yang membalut badanku. Aku memandang jauh. Pikiranku penuh dengan pertanyaan. Aku membuka catatan kecil, menuliskan sesuatu yang memenuhi kepala. Mengapa bencana ini menimpa kami? Merenggut kebahagiaan kami semua dan hanya menyisakan tangis.

Lamunanku berakhir saat ibu menyentuh pundakku. Menanyakan alasan mengapa aku belum tidur. Aku tatap wajah ibu dan melihat bekas lelahnya perjuangan untuk kami berdua di sana. Aku mengadu soal bencana yang menimpa kami semua, tentang cita-citaku yang terhambat akibat bencana ini, tentang Ilya yang harus merasakan segala kesedihan di usianya yang masih kecil.

Seketika itu, ibu menjawab, "Pasti ada pelangi setelah hujan."

Aku terdiam oleh jawaban yang diberikan ibu. Di usiaku yang menginjak kepala dua, bahkan tidak terfikirkan kalimat itu. Ibu selalu bisa menyederhanakan keluhanku. Ibu yang sejatinya belajar dari pengalaman pasti mengerti betul kalimat itu. Segala sesuatu yang terjadi, Tuhan pasti selalu menyelipkan pesan di dalamnya. Hikmah.

"Apapun yang terjadi, semua ini. Tetap jagalah mimpimu, Nak. Kau bilang ingin menjadi penulis hebat. Anggaplah ini menjadi tantangan buatmu, bisa atau tidak kau melewatinya. Walau kadang kenyataan tak seperti yang diinginkan. Kita sebagai insan yang beriman, tugas kita hanya berusaha, berjuang, tegar, dan ikhlas menjalani semua. Yakinlah, kita semua bisa melewati cobaan ini. Ada hikmah yang kita bisa ambil. Sedih dan tangis hari ini akan menjadi bahagia esok hari."

Itulah serangkaian kalimat yang diucapkan ibu sebelum memelukku. Ah, ibu, ternyata aku masih kau anggap sebagai anak laki-laki kecilmu. Kau dekap aku dengan erat, erat sekali. Bahkan kau mencium keningku, lekat sekali. Aku bisa mendengar suara hatimu, Bu. Kau simpan segala keresahan, kekecewaan, dan kesedihan di sana. Kau menyembunyikannya sedemikian rupa, tak mau berbagi dengan anak laki-laki yang sedang luruh dalam pelukanmu ini. Benar kata orang, kau selalu menjadi malaikat, menjadi pelindung bagi buah hatimu. Dan juga kalimatmu itu, kau selalu juara dalam merangkai nasehat. Menjaga agar mimpiku tak terjun jatuh. Katamu, kesedihan hari ini akan menjadi bahagia, entah kapan. Yang pasti aku selalu percaya, esok kan bahagia.

#STORYdarity

Esok Kan BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang