Katakanlah bahwa aku satu-satunya milikmu.
Atau berbohong, setidaknya malam ini saja...----------------------
Emma Point of View :
Aku menatap wajah tampan Finn lama. Sekarang kita berada di teras rumah Finn, hembusan angin dini hari yang dingin menusuk ke dalam tulang melewati tipisnya baju kaos yang aku kenakan. Sesekali aku terbatuk karena asap rokok yang dihisap Finn, aku kembali menatapnya, sosok dengan rahang tegas dan rambut hitam legam bersinar karena cahaya Sang Rembulan.
Pukul 02.00 AM, dan kita berdua masih terjaga. Padahal besok sekolah, tapi entah kenapa kantukku hilang begitu saja ketika menemani kegalauan Finn.
"Sori, ya, lo jauh-jauh kesini cuma buat nemenin gue doang," Finn mencium keningku hangat, membuat hatiku berdebar. Ya, aku tahu persis ini salah, walaupun Ia biasa melakukan ini dan hanya menganggap itu sekedar ciuman tanpa perasaan, tapi hal itu cukup membuat dadaku sesak. Ponselku berdering dari tadi dan mengabaikan telpon masuk dari pacarku, Renald. Aku tidak tahu perasaan apa sebenarnya yang aku punya kepada Finn, yang jelas aku benar-benar ingin memilikinya. Bukan karena dia tampan, disukai banyak wanita di sekolah, dikenal banyak orang, ataupun kaya. Karena pacarku, Renald pun punya semua itu.
Finn, dia temanku, punya aura yang beda. Selera kita sama, suka komik, anime, humor yang rendah, suka menonton film, suka misteri, suka musik, dan dia juga romantis.
Renald tidak begitu...,Sebenarnya, itu hanya karena aku tidak bisa memilikinya. Aku selalu memberikan apapun yang dia inginkan, aku selalu menuruti apapun yang dia katakan, aku percaya saat dia berbohong, aku tidak bisa marah bila dia menyakiti hatiku. Aku mengerti ini termasuk dalam perselingkuhan, tapi aku tidak bisa memutuskan hubungan dengan pacarku, karena aku juga sayang padanya.
"Gimana jadinya, ya, kalau Ashley tau gue nemenin lo nangis sampe pagi gini?" Aku selalu begini, ingin meyakinkan bahwa Finn benar-benar tidak akan balikan sama Ashley, alias mantan pacarnya yang benar-benar tidak mengetahui hubungan kami.
"Gue kan udah putus, berapa kali juga dibilang." Raut wajah Finn berubah, kini Ia serius. Finn menatap langit-langit, kemudian berkata "Masalah Ayah gue aja belum kelar, gue males ngurusin masalah pacar, ribet."
Ya, aku harap begitu. Aku sangat berharap kamu bukan milik siapa-siapa, Finn.
Seandainya aku bisa berkata seperti itu, tapi rasanya gengsi. Padahal aku sering bercanda bersama Finn, tapi aku tidak tahu jelas bagaimana perasaannya terhadapku. Aku benar-benar tidak bisa mengubur perasaan ini. Aku benar-benar mencintainya lebih dari apapun.
"Lo mau ke kamar gak? Dingin," Finn beranjak dari tempat duduknya, Ia melingkarkan sweater tebalnya ke punggungku. Hangat. Tapi dari pertanyaannya itu, aku tahu apa yang akan terjadi.
"Gue mau pulang, deh," Tolakku, aku hanya tidak ingin hari ini menjadi hari yang panjang untukku dan Finn. Aku tidak ingin perasaan ini semakin menjadi.
Ya, kita memang berteman, tapi memang sebatas itu. Lebih ke aku yang menemaninya, karena dia tidak pernah ada di saat aku membutuhkannya.
Finn tersenyum miring, "Gue anter, bego. Udah jam segini," kemudian merangkulku dan menuntunku masuk ke dalam rumah.
"Sebentar aja, temenin minum, yah? Ga sampe mabuk deh janji," Rengek Finn dengan muka memelas.
"Kebiasaan lo, anjing. Minum mulu, udah gue duga kenapa lo ngajak masuk, ya pasti bakal begini!" Omelku. Sudah kuduga kalau suasana hatinya sedang tidak baik, Ia pasti melampiaskannya dengan alkohol. Walaupun aku benci hal itu, aku sudah capek melarangnya.
Finn memainkan alisnya menunggu jawabanku. Wajahnya yang tampan itu mengingatkanku pada Taehyung BTS. Karena kalau dilihat sekilas, Finn mirip idol itu. Kebayang kan gimana gantengnya? Aku jadi pengen nangis, deh. Ganteng banget.
Akupun pasrah dan mengangguk.
Sudah ku bilang kan, aku tidak bisa menolak. Aku selalu menuruti perkataannya.
Aku siap menemaninya, walaupun aku tidak suka bau alkohol ataupun asap rokok, aku akan tetap bersedia menemaninya di saat dia terpuruk, hanya menjadi sandarannya.
Wajah Finn tampak gembira, kemudian merangkulku dan mendaratkan wajahku ke dada bidangnya. Wangi maskulin itu tak akan pernah aku lupakan. Astaga, aku tidak ingin hari ini berakhir.
"I love you, Emma Dulciana Kizzy!!" Finn bercanda lagi, menyerbuku dengan ciuman di pipi.
Aku harap begitu, Finn. Tapi kamu selalu berkata begitu setiap kamu kesepian.
Dari saat itulah, hubungan tanpa arah itu terus berlanjut...
-----------
To be continued
Enjoy this story?
Please, give me vote and comment. Thx. Xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Emma's Pain
Teen Fiction15+ WARNING! CERITA INI MENGANDUNG KEKERASAN, KRIMINAL, ALKOHOL, ROKOK, DAN KATA KASAR. MOHON PEMBACA LEBIH BIJAK UNTUK BISA MENANGGAPINYA. TERIMAKASIH. Mencintai dua laki-laki yang berteman adalah dilema hidupku di umur 17 tahun ini. Memiliki kekas...