Brakk!
"Zio! Minjem baju basket lo dong!"
"Baju lo ke mana?"
"Masih basah! Si mbok baru nyuci tadi pagi!"
"Di dalem lemari, ambil aja."
Setelah mengambil seragam basket yang tergantung apik di dalam lemari Zio, pemuda yang rapi dengan seragam hari Rabunya itu melangkah mendekati ranjang lalu tangannya terulur menyentuh dahi Zio.
"Gue pikir lo becanda."
Tiba-tiba dari balik pintu muncul pemuda lain dengan suara beratnya. "Bisa sakit juga nih temen gue." Mengagetkan Zio dan pemuda tinggi tadi.
"Buruan berangkat sana! Ganggu gue aja lo pada."
"Yaudah deh, bro. Cepet sembuh, inget ... Sabtu depan ada tanding." Pemuda tinggi dengan tas punggung hitam menepuk pundak Zio yang meringkuk di balik selimut.
"Kita duluan!"
"Yoi."
**
"Itu yang di belakang ngapain!"
Guru matematika berbadan gempal serta berkepala plontos bak Deddy Corbuzier melempar penghapus papan tulis dengan keras. Membuat seisi kelas menoleh ke belakang, tempat penghapus itu jatuh dan juga dua pemuda yang tertangkap basah sedang bermain ponsel di atas meja.
Wajahnya tegang, keringat bercucuran saat Pak Brot melayangkan tatapan menyeramkan andalannya. Degupan jantung mereka terasa lebih cepat.
"You have been slain!"
Suara announcer terdengar keras menyebar ke sepenjuru ruangan.
"Yaah ... mati ...."
"Kasian Allucardnya .... "
Tanpa menunggu lama, guru dengan usia 43 tahun itu melangkah lebar, hanya dalam hitungan detik ia sampai di deret bangku paling belakang. Membiarkan tatapan melas dari murid favoritnya Pak Brot langsung menyambar dua handphone berlogo apel tersebut.
"Devan! Harsa!"
"I-iya, Pak .... " jawab mereka gugup.
"Kenapa kalian melanggar peraturan di jam pelajaran saya? Kenapa!"
"Ayo jawab!" Dua pemuda yang menjadi tersangka saling mengumbar cengiran kudanya.
"Kalau kalian tidak mau jawab, maka HP kalian akan saya sita selama dua bulan."
"Jangan dong, Pak! Jangan ...." tandas salah satu pemuda yang duduk di bangku sebelah kanan.
"Bosen Pak, masak hitung-hitungan mulu." Harsa langsung kicep saat matanya bersitubruk dengan mata Pak Brot yang melebar karena melotot garang. Pelototan tersebut membuat keduanya tak berani bersuara.
Suasana kelas semakin hening, kicauan burung terdengar dari luar. Semua siswa maupun siswi penghuni ruang kelas XI IPA 1 terus menatap Devan dan Harsa saksama.
"Ini matematika! Jika kamu tidak berkenan mengikuti pelajaran saya, kamu bisa keluar!"
Pipi Devan mengembung menahan tawa. "Hkmmp ...." Namun sial, guru berkepala plontos ini mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE
Teen FictionGenre : Teenfiction. Kalian penyuka hujan? Jika iya, maka kalian wajib bertemu dengan Arum, gadis yang punya alasan tersendiri untuk menyukai hujan. Mari berteman dan berbagi cerita dengan gadis yang dulunya tak menyukai hujan namun mulai detik ini...