.
Dingin yang memeluk tak membuatnya beranjak dari balkon kamarnya. Air mata yang sedari tadi mengalir di pipi mulusnya, seakan tak pernah habis karena terus menerus mengalir. Pertanda bahwa gadis yang sedang memeluk foto dirinya dan adik sulungnya itu sedang terluka.
Dia memang sangat terluka, sampai-sampai ia tak tau bagaimana ia akan mengobati lukanya sendiri, terlalu banyak sehingga ia tak tahu mana yang harus diobati, terlalu perih sehingga ia takut hendak menaruh alkohol untuk mengobati lukanya sendiri.
Dilihatnya sekali lagi foto yang ia peluk sedari tadi. Itu adalah potret beku dirinya bersama adik lelakinya, adik sulungnya. Jauh sebelum adik bungsunya lahir. Saat dimana adik yang digendongnya ini masih menjadi bungsu keluarga. Potret dua puluh tahun lalu saat seorang gadis kecil berusia enam tahun yang terlihat menggendong adiknya yang kala itu masih kecil, mungil, dan merah. Senyumnya merekah sangat manis kala itu. Menggambarkan betapa bahagianya ia karena telah memiliki apa yang ia inginkan selama 6 tahun kehidupannya. Seorang Adik.
Namun apa daya setelah belasan tahun berlalu itu semua hanya tinggal kenangan. Adiknya yang sangat ia nantikan kehadirannya, yang sangat ia jaga dari apapun yang dapat melukainya, justru sekarang dengan tega pergi meninggalkannya.
Adiknya telah melepaskan segala sakitnya.
Adiknya,
telah pulang ke pangkuan Tuhan.
Coba sebutkan kakak mana yang tidak hancur ketika melihat secara langsung bagaimana sang adik berpulang ke pangkuan Tuhan. Ia melihat secara langsung kepergian adiknya, tetapi ia tidak bisa menahannya sama sekali untuk tetap tinggal. Ia tidak bisa mengobati luka adiknya. Ia dipaksa untuk melepas adiknya.
"Untuk apa kakak sekolah jauh-jauh dan akhirnya jadi dokter kalau kenyataannya kakak gak bisa nyembuhin kamu, Dek? Coba bilang sama kakak, untuk apa?"
Sekarang, apa yang harus dibanggakan dari gelar dokter yang ia dapatkan jauh-jauh dari benua 'biru' itu sementara ia tidak bisa menyelamatkan adiknya? Untuk apa ayahnya menyekolahkannya hingga ia harus terpisah dengan adiknya jika sekarang bahkan ia tidak berguna untuk adiknya? Untuk malam ini saja, biarkan dia kembali menumpahkan air matanya sekali lagi. Biarkan dia larut bersama penyesalan yang seharusnya tak ia sesali.
Karena sungguh, ia telah melakukan segalanya demi adiknya yang istimewa itu.
Setelah puas memandangi potret beku dirinya dan adiknya, ia langkahkan kaki jenjangnya menuju kamar di sebelah kamarnya. Kamar adiknya.
Sepertinya, usaha nya menghapus air mata yang sejak tadi menganak sungai di pipinya menjadi sia-sia. Sebab setelah ia membuka pintu kamar adiknya dan wangi cokelat memenuhi indra penciumannya, membuat apa yang dihapusnya beberapa menit yang lalu kembali hadir di pipi mulusnya. Cukup dengan menghirup aroma kamar adiknya ini, sukses membuat air matanya jatuh kembali.
Ia ayunkan langkah nya ke dalam kamar yang sudah ditinggalkan pemiliknya ini dengan air mata yang makin deras. Wangi cokelat yang menguar sungguh menyiksanya. Wangi cokelat yang terus membuat air matanya jatuh, seolah-olah ia punya persediaan air mata yang banyak sebab sudah dua hari sejak pemilik kamar ini meninggalkan kamarnya untuk selamanya, tiada detik rasanya tanpa air mata. Air matanya hanya berhenti mengalir ketika ia jatuh tertidur.
Langkahnya terhenti tepat di depan ranjang yang biasa digunakan adiknya. Ia duduk kan dirinya di kasur putih adiknya itu sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan ini. Adiknya, sama sekali tak berubah. Kendati tujuh tahun berlalu, sama sekali tak merubah adiknya. Adiknya masih sama seperti apa ia dulu ketika gadis bersurai coklat kelam ini meninggalkannya untuk menggapai cita-cita nya di benua 'biru'.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reply Letter for Brother (Oneshoot)
Short Story"Semoga Tuhan berbaik hati dan menyampaikan surat ini padamu. Berbahagialah..." One shoot update : June 2nd, 2020