...
Dear Bima..
Halo Bim!
Sebenarnya kakak tidak yakin surat ini akan sampai padamu atau tidak. Kalaupun sampai entah tulisannya masih bisa dibaca atau sudah hanyut bersama air danau yang menyampaikan ini padamu.
Apa sesakit itu sehingga memilih untuk meninggalkan kakak, Bim? Bagaimana bisa adik kakak menanggungnya sendiri? Mengapa tidak membaginya dengan kakak? Mengapa membuat kakak seperti seorang kakak yang tidak berguna karena tidak bisa mempertahankan adiknya?
Jujur, ini menyakitkan bagi kakak, Bim. Rona pucat di wajah mu hari itu berhasil memporak-porandakan kakak. Ragamu yang dingin itu benar-benar menggoreskan luka yang teramat dalam. Singkatnya, kakak hancur pada hari itu. Sangat. Sampai rasanya ingin menyusul mu saja sesaat setelah kalimat paling menyakitkan itu dikumandangkan. Bahkan saat menulis kalimat-kalimat saksi kerapuhan kakak ini, air mata kakak masih sangat ingin meluncur bebas dari kelopak mata kakak.
Maaf jika beberapa hari ini kakak selalu membuatmu tersiksa dengan ketidakrelaan kakak atas kepergianmu. Jangan khawatir, kakak dan Arisa akan selalu membahagiakan Ayah dan Bunda. Persis seperti apa yang Bima pinta pada kakak. Juga, tidak akan ada air mata kesedihan setelah ini. Setelah ini yang ada hanya rindu yang terus menumpuk seiring dengan berlalunya waktu.
Jadi, bagaimana? Sudahkah adiknya kakak ini bahagia? Kakak harap tidak ada lagi gemuruh kesedihan yang datang menghampirimu.
Kakak yang selalu merindukan adiknya,
Ashila
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reply Letter for Brother (Oneshoot)
Short Story"Semoga Tuhan berbaik hati dan menyampaikan surat ini padamu. Berbahagialah..." One shoot update : June 2nd, 2020