Akhirnya aku kembali menulismu. Kamu memang seperti ruh kata bagiku. Sejak kau pergi, sepanjang apapun aku menulis, rasanya tetap kosong. Tanpa makna dan berakhir dengan sebuah ending yang sama sekali tidak memuaskan.
Akhirnya aku kembali menulismu. Melukis setiap inchi wajahmu. Bagaimana dulu kau tertawa lepas mendengar kerecehanku, yang aku tahu kau tidak benar-benar terhibur oleh ceritaku, melainkan olehku bagaimana aku bercerita. Dan aku senang. Aku bahagia melihatmu senang karenaku, atau sebaliknya, kau senang melihatku bahagia saat kau tertawa? Tidak ada yang tahu pasti. Yang terpenting, saat itu kita benar-benar berusaha memahami.
Akhirnya aku kembali menulismu. Seolah-olah kau tengah bercerita mengenai banyak hal saat ini, aku mendengarmu. Tentang rencana yang seharusnya tidak kau bilang pada siapa-siapa, katamu saat itu. Sebenarnya aku bingung harus merespon apa. Tapi katamu juga, hanya dengan meminjam pundakku saja sudah lebih dari cukup.
Akhirnya aku kembali menulismu. Membacamu. Oh, kau bilang aku adalah hal paling menarik untuk bisa kau baca. Terlalu rumit. Aku tertawa. Jika begitu, kau adalah hal paling menyenangkan untuk bisa kutulis. Semenjak kau pergi, aku tidak tahu apakah kita masih berada di genre buku yang sama. Tapi yang terpenting, aku bisa kembali menulismu, meski tidak bisa kau baca.
Aku akan menulismu disini.