Preambule

866 102 4
                                    

Kalau ada yang paling kubenci di seluruh dunia, itu adalah ayahku. Iya, pria sok keren yang seenaknya sendiri membawaku ke mana-mana. Mengenalkan aku ke siapa-siapa dan membuatku menjadi kacungnya. Lalu dengan tanpa tanggung jawab menyerahkan semua asetnya kepadaku yang masih berumur enam belas tahun ini. Heks, aku bahkan belum punya SIM!

Menjadi anak Shikamaru Nara selalu sesulit itu. Terutama ketika kau sudah mengerahkan segalanya dan yang selalu dipuji malah ayahmu. Seolah menjadi mahluk kasat mata. Percayalah menjadi invisible adalah hal yang paling tidak enak.
"Junichiro Nara, kamu mendapatkan A+."

Aku tersenyum, maju ke depan kelas dan membungkuk sebentar, mengucapkan terimakasih kepada dosenku yang kini menepuk pundakku bangga. "Btw, kamu apanya Shikamaru Nara?"

Here we go again! Bahkan setelah aku berhasil masuk MIT?!
Setiap capaian yang kuperoleh akan menjadi milik pak tua sialan itu. "Aku? Aku anaknya." Cengiranku kaku. Tanganku mengepal hingga menyebabkan kertas ujianku kusut.

"Wow! Shikamaru Nara hebat sekali. Selain membuat kami terpukau dengan IQ 200-nya dan bisa lulus sangat cepat. Dia juga membuat legitimasi di sini dengan mengirimkan putranya. Hebat benar dia."

Bayang bayang angka 200 membuatku pening. Terutama ketika IQ-mu takkan sanggup melampaui dia.

🐛🐛🐛


Perasaanku tidak kunjung membaik bahkan setelah aku pulang ke rumah. Kamar kesukaanku menjadi neraka ketika pria itu duduk di sisi ranjang, membuka-buka komik yang selalu tersusun rapi di rak.

"Malam ini kita pulang ke Jepang."
"He?" Aku tak bisa menyembunyikan kilat terkejutku. Tas ransel kanvasku yang sedari tadi aku tenteng terlepas begitu saja.

"Dad.. kau nggak sedang bercanda kan?"

Pria itu menaruh komikku di tempatnya. Hal yang sangat janggal ketika ia biasanya seenaknya sendiri. Dengan kepribadiannya yang menjengkelkan dan tidak mendengar siapapun. Tapi pria itu nyengir tulus, hal yang sudah lama hilang dari pandangan mataku selama bertahun-tahun.
"Selamat, kau akan jadi kakak."

What the hell. Menjadi kakak? Dengan gap membentang enam belas tahun, atau tujuh belas tahun jika ia lahir nanti. Apasih yang kedua orang aneh itu pikirkan?!

Mulutku terbuka, lalu terkatup lagi karena tidak ada kata yang tepat selain kata chaos!
"Mommy-mu menginginkan kembali ke Jepang selama hamil dan melahirkan."

"Hah?! Terus gimana dengan kuliahku?"
"Pindah."
"Aku nggak mau!"
"Cuti."
"Demi Tuhan, Dad! Yang hamil Mom, kenapa aku harus ikut kalian ke Jepang?!" Jun memutar matanya.

"Ini tahun 2020"
"Aku tahu, jadi jelaskan karena aku tidak punya IQ200, oke! Dan aku tak percaya bahwa kau mencintaiku 3000, karena kau selalu membulyku lebih banyak dari 3000 kali."

"Itu bukan bullyan. Itu gemblengan." Shikamaru mengibas udara, seolah hal itu biasa dan tidak berpengaruh apa-apa.
"Gemblengan my ass!"

"Mulutmu, onii-chan. Dasar, merepotkan."
"Ya ampun!" Junichiro menepuk dahinya, "bahkan dia belum lahir."

"Kuberikan semua saham NTech." Shikamaru mengorek kupingnya malas.

Jun ternganga. Ada apa dengan ayahnya? Kenapa mendadak sekali. "Kau bermaksud apa?"

"Memberimu tahta itu lebih cepat." Shikamaru melipat kakinya, menyilangkan kaki seolah ia adalah seorang raja. Jun membenci gerakan itu, tentu saja. Semua hal yang dimiliki oleh ayahnya adalah hal yang menyebalkan.

"Dan tak menyisakan apapun untuk calon adikku?" Alis Jun naik sebelah, tangannya bersidekap di dada, membuat Shikamaru seakan dè ja vu. Tentu saja, gerakan itu dituruninya dengan baik dari sang master sendiri.

"Aku bisa memberinya perusahaan lain." Shikamaru berdehem, "tsk! Dasar merepotkan!"

"Geezz, lagian aku juga tidak bisa membuat pemegang saham tunduk. Aku masih enam belas tahun." Junichiro berdengus, sepertinya 'hadiah' ayahnya adalah hal tanggung.

"Kau bisa jika memulai ekspansi bisnis ke Jepang. Kebetulan kita sedang mengembangkan baterai ponsel yang lebih valid dan juga murah daripada Li-Ion."

"Dad sudah memulai penelitian baterai Lithium-sulfur?"

"Kita sudah memasuki tahap produksi." Shikamaru menjawab enteng tanpa mempedulikan perasaan anaknya.

"Bagaimana bisa? Kenapa aku tidak dilibatkan?" Jun merasa dadanya penuh emosi. Dia bukan anak kecil dan dia juga pemegang saham untuk NTechnology.

Shikamaru tersenyum, "waktu itu kau sedang ujian masuk MIT. Jadi aku menundanya..."

"Menunda hingga setahun?! How great is it," timpal Jun sarkastik.

"Kau bisa terlibat lebih jauh kalau kau bisa memblok pergerakan Uchiha."

"Fugaku sudah tua, dia tidak akan menganggap kita ancaman. Dia akan dengan bangga bilang kalau Lithium-Ion masih yang terbaik. Seperti Nokia pada jamannya."

"Aku bicara tentang Sasuke."
"Heh, paman Superb?"

"Sasuke berhasil menumbangkan ayahnya pertengahan tahun kemarin."
"Lalu?"
"Kita jelas sebagai ancaman."

Jun mengerti arah pembicaraan ayahnya. Sebagai pebisnis, perubahan sekecil apapun akan membuat dampak yang besar.

"Virus Corona sudah tersebar akhir tahun kemarin. Otoritas China berusaha mengcovernya, tapi pandemi ini terus terbang hingga ke sini. Tidak lama lagi Kanada juga akan memiliki penderita. Mom memiliki kekhawatiran yang besar dan ingin pulang ke Jepang." Shikamaru tiba-tiba membelokkan topik.

"Tapi ini baru Januari Dad..."
"Pumpung masih Januari. Ayo kita pulang ke Jepang."

Jun menarik napas, "aku tidak punya pilihan kan." Matanya kini bergulir ke arah jendela dan tanpa kata mantan calon anak semata wayang Shikamaru-Hinata itu telah melangkah ke balkon kamarnya.

Shikamaru menarik napas dan memandang putranya dengan bangga, Junichiro tumbuh besar dengan dua orang manusia yang tak sempurna. Hinata dan Shikamaru Nara yang menikah terlalu muda, mengabaikan beban psikologis yang akan ditanggung anak mereka kelak. Nyatanya, selalu ada celah yang tidak bisa ditambal. Kedewasaan apapun, akan kalah oleh keterpaksaan.

"Junichiro. Kuberikan kau akses ke Chimera."

Pergerakan Junichiro terhenti. Nama satelit milik keluarganya begitu menyedot semua atensinya.

"IDmu chava2327" Shikamaru mengorek kupingnya, "kau ini pamrih sekali kan, sudah kuduga kau akan memintanya. Dasar merepotkan!"

Jun langsung tersenyum, melangkah tergesa ke arah laptopnya. Dan mengetikkan ID yang diberikan ayahnya. Lalu senyumnya lenyap, "kenapa ada gambar Park Chanyoel?! Kenapa bukan gambarku?!"

Shikamaru terkekeh, "ganti saja sendiri."

"Terserahlah!" Jun mengibas udara.

****Cut Area****

JUNICHIROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang