Untukmu,
Apa kabar?
Saat kamu baca tulisan ini, mungkin aku dan kamu sudah menjadi seutas kenangan yang digantung pada atap semesta.Janu, setelah sekian lama bertengkar dengan isi kepala, pada akhirnya kuputuskan untuk tidak lagi menyebut ini sebagai rahasia. Cerita yang sudah lawas dan aku juga tidak tahu ingin bermula dari mana, tapi semoga pembacaku tidak protes kalau nanti aku sudah mulai.
Kamu ingat tidak, setiap malam aku selalu melihat ke arah langit-langit kamar? Kamu penasaran, tapi cuma bisa bilang, "Otakmu berisik, Dhis," karena aku tidak pernah menjawabmu dan cuma tersenyum.
Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu apa yang diributkan kepalaku. Mereka memang berisik sekali, Janu. Aku tidak bisa menerjemahkannya.
Maaf atas kesalahan yang seharusnya tidak pernah aku perbuat. Itu semua tidak pernah disengaja. Aku terlalu hanyut dalam dekapan dan denyut jantungmu yang bisa memadamkan egoku.
Kini, haruskah kutinggalkan asa pada ujung jalan itu dan berdoa agar ia tidak lagi menjadi bayang-bayang? Aku harus apa, Janu?
Janu,
Terima kasih telah ada untukku. Perjalanan singkat yang kamu ukir akan selalu kusertakan pada setiap nafas panjang hidupku selanjutnya.Atas waktu yang selalu kamu berikan untukku, atas segala damai dan ikrar yang pernah ada dalam dirimu, terima kasih.
-Adhisti Karenina
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cerita Kemarin
RandomTentang kata yang tidak pernah bisa diterjemahkan dari kepala