_Meet him_
.
.Ribut. Berisik. Penuh. Ratusan, bahkan ribuan orang sedang menonton Cedric saat ini, mereka berteriak nyaring seakan dirinya dapat semangat dengan sorakan bodoh mereka. Percayalah, basket ini tak akan masuk kedalam ring-nya jika para wanita terus bergeliat heboh bak cacing kepanasan.
Cedric semakin mendekat kearah lawan, menumpu kedua kakinya agar segera melompat tinggi keatas ring basket. Seperti yang ia harapkan, suara 'Tinn' memenuhi ruang perlombaan. Para kawanannya berdatangan, memberikan pelukan erat yang tak terelakkan. Cedric tersenyum, menampilkan deretan gigi putihnya kearah semua penonton, mereka bersorak, para wanita semakin gencar menatap genit kearahnya.
Hari yang biasa dan kemenangan yang biasa. Cedric sudah merasa jika ini adalah rutinitas hariannya. Kepopulerannya makin meningkat setelah ia mencetak angka berkali-kali, memenangkan perlombaan tanpa harus bersusah payah sama sekali. Mungkin ia harus merayakannya kali ini.
"Selamat! Kuharap kau mau mentraktirku hari ini." Seorang gadis keturunan China menghampiri Cedric dengan segelas air ditangannya, melempar dan memberi isyarat agar ia segera meminumnya. Tanpa banyak pikir lagi, Cedric segera menghabiskan air itu tanpa sisa. Wanita itu nampak tersenyum. Mungkin karena Cedric yang tiba-tiba saja patuh padanya. Sungguh menjengkalkan mengingat jika ia akan seperti bocah lelaki jika bersamanya. Entah karena gadis itu adalah sahabatnya, atau mungkin karena sifatnya yang memang sudah seperti ibu-ibu semenjak dari dulu.
Dia adalah Cho Chang, gadis yang sudah ia anggap seperti saudarinya sendiri. Orang mungkin beranggapan jika mereka mempunyai hubungan khusus, namun tidak demikian. Ia hanya menyukainya sebatas teman, begitupun sebaliknya. Terkutuklah para penggosip yang suka menabur cabai diatas cupcake. "Kau ingin makan apa?"
Wanita itu berpikir untuk sejenak. Tangannya nampak dipangku kearah dagu, seakan ia benar-benar serius saat ini. Namun Cedric tahu, jika Cho hanya sedang pura-pura. Seharusnya ia tak perlu lagi bertanya. Gadis itu pasti ingin memakan makanan manis kesukaannya. "Mungkin... es krim."
Sudah kuduga.
"Baiklah, kau bisa tunggu disini?" Tanya Cedric. Bibir Cho tiba-tiba tersenyum mengejek kearahnya. Gadis itu kemudian menyelipkan tangan kanannya kedalam saku celana Cedric. Untuk sesaat, Cho terkekeh pelan, menemukan sepucuk surat berisikan puisi cinta didalamnya.
"Lagi?" Cedric berguman kesal. Lantas ia merebut surat itu dari Cho. Gadis ini memang tak tahu apa yang namanya privasi para pria. "Sebaiknya kau terima saja. Aku tak tega melihat gadis yang menangis karena ditolak cintanya. Kau tak bisa hidup tanpa kekasih, Cedric." Cho menepuk bahunya pelan, wanita itu berusaha membuatnya mematuhi kata-kata mutiaranya yang menurutnya tak bermanfaat sama sekali. Namun ia bukanlah pemuda bodoh yang akan tertipu dengan segala tipu daya seorang ibu abal-abalan.
"Aku tak bisa, wanita hanya membuat kepalaku pusing melebihi Migrain. Lagipula, aku tak menyukai gadis yang suka memamerkan sempak pinknya kepadaku."
Cho tertawa pelan, matanya yang sipit makin menyipit. "Jika kau terus begini, aku yakin kau akan melajang sampai kau mati." Cedric tak terlalu peduli akan cemoohnya. Bukankah lebih baik melajang daripada mencintai? Mungkin pemuda itu memang berbeda dari yang lain. Cinta bukanlah sebuah tujuan hidup yang perlu ia perjuangkan. Cedric hanya perlu menjadi orang sukses, seperti apa yang ayahnya inginkan. Terkadang Cho kesal akan kelakukan keras ayah Cedric.
Pemuda itu kemudian berbalik dan meninggalkan Cho Cang yang masih setia memasang wajah mengejeknya.
Ia kemudian berlari, menuju depan gudang belakang sekolah. Disana, seorang gadis nampak sedang melamun, jarinya memilin ujung seragamnya karena gugup. Kepalanya terus menoleh kearah kanan dan kiri, berusaha mencari-cari seseorang, yang sepertinya adalah dirinya sendiri. "Hei, apa ini darimu." Ucapnya sambil menunjukkan sepucuk surat yang berwarna merah muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not_Mine_(Drarry/Chedrry)
أدب الهواة"Mencintai tidak harus memiliki bukan?" Seribu cara sudah Cedric lakukan untuk menarik perhatian Harry Potter. Bukannya menerima atau membalas, pemuda itu malah tersenyum getir, seakan ia tak akan pernah mendapatkan kesempatan. Apa ia seburuk itu hi...