"Sosokmu tak lagi bisa kudeskripsikan dengan kata, hanya air mata yang mampu mewakili bagaimana rasa ini setiap kali kau bertutur kata."
"Jangan lupa bahagia, jodoh," itulah kira-kira caption yang ditulis di postingan fotonya.
"Kasih tahu kalo mau nikah ya, bilang aja kadonya mau apa," iseng aku mengomentarinya.
***
"Sa, aku mau nikah."
"Alhamdulillah, jadi mau kado apa dari aku?"
"Mau kamu yang jadi pendamping hidupku."
"Ya! Serius mode on dong."
"Menurutmu?"
"Gak lucu yaampun."
"Aku serius."
"Dasar cowok."
"Kenapa?"
"Gak papa? Percaya jangan?"
"Aku serius."
"Kalo emang serius, datang ke rumah, jangan beraninya di chat doang," haha aku tertawa, aku tahu dia hanya bercanda, toh dari dulu emang kayak gitu orangnya.
"Buka pintunya kalo gitu, aku udah di depan rumah."
"Lah?" Sontak aku buka gorden jendela kamar, memestikan keberadaanya. Iya, ia ada di sana, tengah berdiri dengan fokus tertuju pada layar HP-nya.
"Jadi?"
Chatnya tak kubalas, aku memutuskan untuk menelepon. Saat panggilan sudah terhubung dan dia mengangkatnya, tak ada satu pun yang bersuara. Dia menoleh ke arahku yang tengah mengintip dari jendela, tersenyum. Sementara aku? Kaku bak balok es tak tahu harus bagaimana. Mengumpulkan rasionalis yang seakan terkikis begitu saja. Tak bisa dipungkiri, dadaku menggebu entah yang mana penyebabnya, terlalu banyak jika harus disebutkan satu-persatu. Aku mematikan sambungan telepon.
"Rey, jangan gegabah__ istikharah dulu."
"Menurutmu? Kenapa aku bisa di sini jika belum melakukan apa yang kau katakan?"
Aku tersenyum samar meski dia tak bisa melihatnya.
Haruskah aku mempercayainya? Kali ini saja aku ingin percaya. ):
"Kalau begitu, temui ayahku," tandasku lalu menonaktifkan data tak ingin lagi melihat balasan chatnya. Untuk pertama kali aku memegang kata-katanya.
Saat itu juga aku menitikkan air mata, dadaku sesak entah kenapa. Aku takut ucapannya hanya gurauan saja.
15 menit aku menunggu ucapan salam dari luar, tapi tak kunjung datang. Aku tersenyum miris, sudah kuduga, dia tidak akan datang, mungkin hanya kebetulan lewat saja dan dia sengaja berhenti di depan rumah untuk membuatku percaya.
Namu, sedetik kemudian ucapan salam terdengar, tapi sayang itu bukan suaranya. Ya ampun apa yang aku harapkan. Sepertinya itu teman ayahku.
Ayah membuka pintu setelah menjawab salam, samar-samar kudengar percakapan.
"Eh? Silahkan masuk," ucap ayahku seperti mengingat-ngingat siapa yang berhadapan dengannya, maklum, ayahku memang banyak teman di mana-mana, tapi yang benar saja bertamu malam-malam begini.
Kudengar pintu terbuka lebar, derap langkah samar-samar memasuki rumah."Sa, siapin minum, ada tamu," ibuku sedang solat Isya ngong-ngomong, jadi ayah menyuruhku.
"Iya, Yah," segera aku mengenakan kerudung lalu keluar dari kamar.
Rasanya aku ingin ambruk saat itu juga, sosok itu tengah melihatku ketika refleks aku menoleh setelah menutup pintu kamar ingin mengetahu siapa tamu ayahku.
Dia datang bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Dadaku panas, detak jantung bertalu ribut hingga aku seakan tuli saat itu.***
Lalu? Siapa yang berani menolak seseorang yang namanya selalu dilangitkan?
"Masih ingat?" Ia mengechatku setelah acara lamaran selesai.
"Apa?"
"Hal yang paling indah di dunia ini."
"Ketika kau mengucapkan qobiltu bada ayahku."
"Terimakasih, telah bersedia menjadi wanita yang kupilih."
"Berterimaksihlah pada Allah yang telah mengabulkan doaku."
"Aku tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Coreopsis
Teen FictionCoreopsis, mengenalmu adalah bagian dari bahagiaku yang sederhana. Kau itu musim panas, tapi juga musim dingin di waktu yang sama. Sementara aku, berharap menjadi musim semi meski kenyataan hanya musim gugur yang kesepian.