1.||Tuduhan

3 1 0
                                    

Jam lima lewat empat puluh menit aku bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam lima lewat empat puluh menit aku bangun. Tak perlu alarm lagi untuk membangunkanku, karna aku sudah terbiasa dengan kehidupanku seorang diri ini. Lagi pula siapa yang akan membangunkan ku jika bukan aku sendiri, keluarga? Haha tidak mungkin, aku sebatang kara.

Aku bergegas mandi dan memakai seragam putih abu-abuku. Setelah selesai, aku membuat sarapan yaitu sebuah roti dengan selai coklat. Bagiku sarapan sesederhana itu sudah cukup tuk mengisi perutku.

Saat aku mulai mengunyah roti, bayang-bayang kebersamaan dengan orang tua ku dulu kembali terlintas di benakku, bagaimana cara orang tua ku tersenyum, mengelus puncak kepalaku, dan mengoceh saat aku telat untuk makan, dan aku yang terkadang bersikap manja. Namun, kini sudah berbeda tak ada acara untuk manja-manjaan, tak ada senyum, tak ada tangan yang mengelus puncak kepala ataupun ocehan yang keluar, kini saatnya harus tangguh dan kuat menerima kehidupan yang akan datang.

Seketika cairan bening keluar dari mataku dengan begitu derasnya, membuat napsu makanku kian berkurang.

"Kamu kuat Mentari." Kataku menyemangati diriku sendiri.

•0•

Saat memasuki sekolah aku hanya berjalan menunduk, entah mengapa aku tidak ingin di tatap oleh murid-murid yang lain.

Perlu kalian tahu, aku adalah perempuan dengan kacamata yang selalu bertenger manis di mataku, rambut yang selalu aku kuncir kuda, aku yang selalu di cap cupu oleh semua murid di SMA PERWIRA. Perlu kalian tahu juga, SMA PERWIRA adalah SMA elit dengan murid-murid yang berbakat tentunya, dan mengapa aku bisa bersekolah disini? Jelas karena otakku. Aku mendapatkan beasiswa untuk masuk kesekolah ini.

Oke, kita kembali ke cerita. Saat aku memasuki ruang kelasku baru dua langkah kakiku memasuki ruang kelas, aku sudah mendapati sambutan yang cukup meriah seperti hari-hari biasanya, sebuah kertas yang sudah diremas lalu dilempari kepadaku. Aku tak melawan karena aku tahu aku disini bukan seperti mereka yang berlimpah harta, aku disini hanyalah murid yang mendapat beasiswa dan sewaktu-waktu bisa dicabut jika aku bermasalah dengan siswa siswi yang berada di SMA PERWIRA ini.

"Eh cupu"

"Haha miskin, iww"

"Ihh gayanya kampungan banget sih, bikin jijik dipandang"

"Apaan nih masa murid kek gini sekolah di SMA PERWIRA yang elitnya kebangetan. "

Begitulah kelasku selalu ramai mengataiku secara terang-terangan, aku hanya bisa menghela napas pasrah menerima keadaan ini, toh jika aku melawan aku hanya butiran debu yang sekali tiup langsung sirna.

Kalau hanya cupu aku tak apa, namun apa masalahnya dengan miskin apakah dengan miskin dan gayaku yang terlihat kampungan ini tak berhak sekolah disini? Apakah hanya orang dengan berlimpah harta benda yang selalu diagungkan? Jika semua murid disini merasa jijik denganku yasudah jangan dipandang, mudahkan. Begitu saja kok susah -batinku berucap.

Aku langsung menuju ke bangku kediamanku tanpa mengubris seisi kelas yang terus mengataiku sambil melempari remasan kertas yang tak henti-hentinya tertuju kearah ku.

Untunglah bel sudah berbunyi dan bertepatan juga dengan datangnya guru yang mengajar, jadi aku lega karena mereka sudah berhenti melempariku.

"Mengapa kelas ini penuh dengan remasan kertas? Ulah siapa ini." Tanya guru yang mengajar di kelasku, Pak Toni namanya.

"Mentari pak." Tunjuk seisi kelas kepadaku

"Apa benar kamu yang melakukan ini Mentari? " tanya pak Toni kepadaku

Aku yang merasa di fitnah pun tidak bisa diam, aku langsung angkat bicara.

"Bukan saya pak, saya difitnah saya berani bersumpah pak bukan saya pelakunya tapi seisi kelas ini pak." Aku membela, memang bukan aku kan pelakunya.

"Bohong Mentari pak." Kini Dona yang berucap, jika sudah Dona yang berucap aku hanya bisa menahan tangis ku karena apa? Dona adalah anak dari pemilik SMA PERWIRA, mau tak mau pasti pak Toni langsung menyalahkan aku karena Dona lah yang berkuasa atas SMA PERWIRA ini.

"Baik, Mentari kamu ambil semua sampah kertas ini lalu kamu buang ke tempat sampah dan ya satu lagi bersihkan sampah yang ada dilingkungan sekolah ini. " Perintah pak Toni terhadapku, aku hanya bisa pasrah menerimanya.

Aku mulai memunguti remasan kertas yang berhamburan di dalam kelasku tanpa sadar Mery, satu geng Dona dengan sengajanya memanjangkan kakinya kesamping, aku yang tak memperhatikan pun langsung tersandung oleh kaki Mery, dan seisi kelas pun tertawa. Cukup sakit dan ada luka di bagian lututku walaupun tak begitu besar namun, perihnya luar biasa.

"Sudah-sudah hentikan, mari mulai belajar, dan kamu Mentari cepat bersihkan dan lanjuti dengan bersihkan sampah dilingkungan sekolah ini." Ucap pak Toni menghentikan keributan.

"Baik, pak" ucapku dengan jalan pincang karena memang ini terasa sakit saat aku berjalan.

"Huuu...makanya jalan tu pake mata dasar cupu." Lagi-lagi seisi kelas mengataiku, aku hanya bisa menahan tangis dan sakit yang teramat sakit.

"Hentikan! Dan kamu Mentari sana bersihkan sampah dilingkungan sekolah ini" ucap pak Toni sekali lagi.

Aku keluar kelas dengan kaki pincang dan mulai memunguti sampah yang berada di lingkungan sekolah SMA ini. Dengan hati sakit dan air mata yang keluar begitu saja.

"Dimana keadilanmu Tuhan? Dimana yang berkuasa dan memiliki harta berlimpah lebih di agungkan dan yang miskin dan tak berdaya selalu ditindas. " Ucapku lirih dan terisak.

••••••••

Semoga suka ya😊
Jangan lupa vote and coment nya
Silahkan ber coment jangan sungkan-sungkan😅

-PutriKamila

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ini AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang