Mengambil inspirasi dari karya Pram, Bumi Manusia.
Jadilah pembaca yang bijak dan baik. Selamat membaca.
1. DIHAR, GADIS PRIBUMI: Para londo itu menyebutnya gadis bodoh. Ia tidak—jelas ia tidak. Walau harus menundukkan kepalanya tiap kali orang Eropa melewati perkebunan rumah majikannya, walau harus menggigit bibir bawah menahan umpatan demi tidak dirajam, ia jelas bukan gadis lemah. Hidup sebagai anak dari dua orang pribumi yang mengabdi sebagai petani dan pembantu meragkap buruh cuci, Dihar tidak punya banyak pilihan. Ibunya wanita hebat, tangannya penuh kalus tapi ia terampil di dapur dan area rumah lainnya. Ayahnya, pun, seorang petani kuat. Saat terjadi packelik ringan di Hindia saat itu pun, sang ayah tak berhenti untuk menanam padi demi padi. Petak demi petak, hektar ke hektar meski sawah itu bukan miliknya, hanya milik majikannya.
Hobi Dihar adalah pergi menyelusuri hutan yang mengelilingi perkebunan—sawah—juga rumah majikan mereka. Majikannya baik, masih punya keangkuhan Walanda tapi hal itu tak terlalu mengusik. Tuan De Blanc—seperti nama mereka yang identik dengan kulit pucat seperti salju itu cukup ramah kepada keluarganya. Mungkin karena ayah-ibu Dihar telah lama mengabdi pada mereka, walau bukan seorang pelayan pribadi atau asisten karena mereka berdua tak bisa membaca, Tuan dan Nyonya De Blanc tetap memperlakukan mereka seperti manusia.
Keinginan pertama Dihar untuk belajar membaca dan menulis pun disambut kernyit dahi dan pertanyaan beruntun; "Untuk apa? Memang membaca apa?"
Apa memang kumpulan huruf dan kata adalah sesuatu yang mahal?
Dihar tumbuh, membawa atma yang kuat dan teguh. Tak bersekolah, tak apa. Rantai tak kasat mata itu tidak menghalanginya untuk tetap mengambil ilmu dari berbagai buku yang ia temukan. Semula hanyalah rasa kasihan dari majikannya, sebuah kado ulang tahun—ulang tahun Dihar yang ke-8 ia dihadiahi buku. Belajar mulai dari kertas bekas catatan penjualan, meminta tinta dengan memohon supaya ia bisa belajar menulis satu persatu huruf alfabet. Mulai membaca buku cerita hingga orang tuanya menyisihkan gaji mereka untuk membelikannya buku pelajaran. Hingga Dihar menawarkan diri untuk bekerja lebih pada De Blanc. Bukan hanya memerah sapi dan menyikat kuda, tapi juga membantu pekerjaan rumah dan lain-lainnya. Dan penghasilannya ia tukar dengan buku. Dengan dunianya.
Dihar sangat suka menulis—bahkan ketika cerita ini dituliskan. Cemooh dan seloroh merendahkan tidak masuk ke telinganya. Ia suka menulis, tidak ada yang bisa mengubah perkataannya.
2. SAAT ITU, MASIH MUDA: Dihar remaja, saat itu punya mimpi—terlalu tinggi, mungkin, sampai orang tuanya yang penyabar pun tak bisa lagi menerima permintaan Dihar. Ia ingin menyecap Sekolah Elite—sulit. Karena pada dasarnya ia tidaklah berasal dari pribumi ningrat, lagi-lagi anak Bupati. Ayahnya petani, ibunya pembantu. Ia pun sadar mimpinya harus pudar saat itu juga. Tidak menyimpan dendam, walau kadang ia melamun sambil berjalan di sekitaran kebun dan hutan. Sedih? Jelas. Dihar tidak banyak menuntut sepanjang hidupnya, tapi hanya satu yang ia ingin; merasakan kesetaraan yang layak dengan para kaum Eropa saat itu.
Tidak adil? Hatinya juga bingung. Di satu sisi, inilah kenyataan yang sedang terjadi. Kiwari yang bergulir adalah di mana ada dinding pembatas begitu menjulang di antara pribumi Hindia dan kaum Eropa.
Terik, mentari kala itu. Dihar kembali berjalan dengan kosong pikiran. Telapak kakinya menapak rerumputan sambil berdiri di dataran tinggi, memandang jauh ke arah perkebunan. Benar, jika memang takdirnya adalah berjuang untuk kesetaraan, maka jadilah seperti itu. Tapi Dihar tetaplah seorang remaja, gadis labil yang terombang-ambing hati dan perasaan. Ia tidak tega pada ayah-ibunya yang bersusah-payah supaya Dihar hidup nyaman. Di antara hierarki menyakitkan dan keadaan yang menekannya ke tanah.