Pseudo

2K 73 9
                                    

"Aku berjanji, ini adalah imajinasi terakhir"
.
.
.

Aku melemparkan pengelihatanku pada seluruh titik ruangan, membiarkan netraku menjamah seluruh alam yang sedang menampilkan gambaran musim dingin yang mengagumkan. Salju-salju tipis saling berjatuhan indah menghiasi jalanan panjang. Karena mereka terlalu cantik, orang-orang tidak terlalu merasa terganggu akan kehadiran salju di jalanan. Semua orang selalu memaafkan dan menerima mereka dengan ulasan senyuman, sekalipun mereka menciptakan suhu menurun hingga melebihi titik 0°.

Sama seperti yang aku lakukan padanya, sekalipun dia telah menciptakan badai dengan skala besar dalam kehidupanku, aku tetap melihat ke arahnya.

Tanganku meraih satu gelas besar yang berisi Coffee Americano hangat bersama sedikit polesan gula di dalamnya. Meminumnya menimbulkan rasa hangat tersendiri untuk badanku. Aku menatap gadis cantik yang berada di hadapanku lurus-lurus sambil merasakan aroma coffee yang kutegak beberapa sekon lalu. Soo, itu namanya. Cukup indah dan simple bukan? Tentu. Wujud dan kepribadiannya sama- sama indah dan sederhana dalam arti antonim. Dia begitu tidak bisa diam, terlalu banyak mulut, pribadi wanita yang sangat jauh dari kata feminim dan itu semua pesonanya.

Jika bisa dibilang aku adalah penggemar nomor satu yang terjerat pada seorang Soo. Jantungku akan berdegup kencang jika beradu pandang dengannya. Dia balas menatapku sambil mengulas senyuman kecil pada bibirnya, aku sudah tidak bisa mengatur getaran ini. Soo yang ajaib.

Sudah empat tahun aku mengenal Soo, mungkin dengan tahun ini menjadi tahun ke lima sejak pertemuan pertama kami.

Aku bertaruh, tidak ada yang istimewa untuk diceritakan tentangku atau tentangnya.

Tapi pada satu titik kecil, keistimewaan itu muncul dengan tiba tiba. Saat itu, adalah saat teristimewa dalam ingatanku.

.

.

.

ㅡ5 Years Agoㅡ

"Jangan.."

"Jangan.." "Jangan.." Bisikan itu terkuak dari seorang gadis yang berada di sampingku, dia memakai setelan feminin dress putih gading yang diselimuti coat merah marun dengan surai hitam diikat di bawah kepala dan sepatu pantofel berwarna semi biru tua. Aku menoleh padanya dan menaruh pengelihatanku beberapa saat ke arahnya, ia menyimpan handphone tepat pada telinganya dan aku yakin ia sedang berhubungan dengan seseorang dari jarak jauh melalui telepon genggam.

"Sudah kubilang jangan" Aku tersentak kaget. Suaranya cukup lebih keras dari sebelumnya, mungkin sekarang bisa disebut ia sedang berteriak-teriak seperti orang mengidap penyakit jiwa, sambil berkecak pinggang dan melemparkan tatapan menakutkan pada udara di hadapannya. Aku sedikit bergidik melihat kejadian itu, lalu menoleh ke arahnya sekali lagi bersama pandangan yang menampilkan 'aku terganggu'. Saat itu matanya membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya yang terpancar. Baiklah, dia mengabaikanku dengan kembali bertelepon ria dan aku tidak terlalu berharap mendapat tanggapan atas ketidak nyamananku ini. Tapi, bukankah seharusnya dia malu karena telah berteriak-teriak di depan umum? dan kemudian seorang pria memperhatikannya dengan saksama, dan dari semua hal itu ia tidak menunjukkan rasa malu sama sekali, ia hanya mengatup-atupkan sepatu dan membuang tatapan bosannya pada aspal. Gadis yang menakjubkan.

Hari ini rasa dingin terlalu banyak mendominan suhu, sudah pasti karena ini adalah bulan Desember. Aku menarik coat-ku lebih keras untuk mengusir rasa dingin malam sambil menunggu bus jalur Seoul-Busan tiba di halthe. Dan lagi pandanganku jatuh pada gadis yang di sebelahku.

Dia terjebak sedang melihat ke arahku, kemudian secepat kilat ia menghindari kontak mata. Oh, ada apa dengan gadis ini? Aneh!

Aku malah berusaha menatapnya lebih dalam dan lama. Kelamaan gadis itu membalas tatapanku tanpa arti, dia membulatkan matanya.

Last ImagineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang