.

12 1 0
                                    

Tanganku setiap harinya memungut dan melemparkan harapan kedalam keranjang kayu lapuk yang kugendong. Aku tidak boleh sembarang memungut. Harapan yang sudah buruk dan hancur aku biarkan membusuk. Sedangkan yang masih terlihat bagus dan layak, aku timbun dan simpan. Aku tau ini melelahkan, tapi aku harus absen setiap harinya, sehari bolos dan perutku menanggung akibatnya. Pada dasarnya kami bukan pemalas yang hobi membolos. Kami bukan anak SMA yang gemuk oleh kasih sayang dan nantinya terekresi menjadi pembangkangan.

Harapan pada akhirnya kami pilah-pilah. Kami golongkan sesuai kemiripannya. Lalu ditelaah, bisakah menjadi baru, bisakah berubah, dan bisakah musnah. Jika sudah, maka kami menunggu si Pewujud Harapan. Kami selalu jujur pada Pewujud Harapan. Apabila kami tidak menggolongkan harapan, kami akan bilang. Walau hal itu memperburuk nilai harapan. Jika ia tiba, kami berbaris menukarkan harapan yang kami punya dengan kenyataan. Kenyataan berbentuk kertas bodoh bernama uang.

Aku tidak pernah sendirian disini. Selalu ada kawan-kawan seprofesi, selalu ada tangan besi raksasa berwarna kuning diatas kami, dan selalu ada tatapan jijik disekeliling kami. Tatapan itu diam-diam mengikuti kemanapun kami pergi. Juga diam-diam melacak garis keturunanku, dan memperlakukan mereka layaknya harapan yang aku pungut.
Pernah pada suatu sore putriku pulang dengan wajahnya yang lebam. Ia memeluk lututnya dan menangis. Tentu aku kaget dan bertanya, "Kamu kenapa nak?" ia lalu menatapku dengan penuh amarah, tangisnya terhenti lantas berdiri dan memaki ayahnya ini, "Kenapa aku harus jadi anak ayah sih?! Kalau bisa aku meminta, aku mau tidak terlahir!"
Aku tidak pernah lupa wajah itu. Wajah kecewa cintaku satu-satunya. Sejak hari itu, ia tidak pernah bicara lagi padaku. Pernah aku mencoba basa-basi dengannya, tapi oh Tuhan, lihatlah tatapannya. Baru kali ini aku meresa sedih karena sepasang bola mata. Sedih karena ini semua gara-gara aku.

Selalu terbayang kejadian sore itu. Aku jadi sering melamun. Sering berharap, padahal aku punya banyak. Aku berjalan-jalan semakin dalam, melewati gunung-gungung harapan, mencari harpan yang aku butuhkan. Sebatang, duabatang, dan sekarang batang rokok ketiga aku hisap. Ini teman pencarianku. Semakin jauh. Aku semakin bersemangat ketika melihat itu. Itu yang aku cari. Berada dipuncak gunung harapan paling besar didepanku. Aku bersemangat sampai membuang rokok yang tinggal setengah, temanku itu.

Aku cepat-cepat mendaki. Kakiku cekatan sekali, kurang dari 10 menit aku sudah dipuncak. Sudah mengenggam harapan yang aku dambakan.
Sialnya, teman yang aku buang kini marah. Putungnya membakar rumput kering dan lihatlah sekarang. Api dimana-mana. Membakar harapan, dari yang kecil sampai yang besar, semua ia lahap. Aku membisu ditengah kesenanganku. Memejamkan mata dan memeluk harapan sekuat tenaga. Mulai terasa sekarang, panas disekitarku. Membakar pakaian lalu tubuhku. Kini aku tau, harapan bisa menjadi semengerikan ini.   

Memungut HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang