PROLOGUE

38 1 0
                                    

Dalam satu harimu...
Pernahkah kau merasakannya...?

Bertanya dalam ketidak-tahuan
Siapakah dirimu yang sebenarnya...?

Pernahkah kau merasakan...?

Bila sesungguhnya...
Kau memiliki sebuah anugerah yang lebih...

Lebih dari...
Yang dimiliki oleh orang lain...

Dan kau sendiri tak tahu...
Dari mana semua itu datang...

Bahkan kau...
Tak  pernah dapat mengerti...

Dan aku...
Aku memang tak pernah terlalu untuk memikirkannya. Tentang semua itu yang tiba-tiba datang begitu saja dalam kehidupanku.

Aku terlalu sibuk, melakukan segala aktivitas yang sering membuatku lupa pada waktu. Sesuatu yang tak dapat di kejar, yang berjalan tanpa lelah dan yang tak pernah ingat untuk berhenti meski barang sejenak, aku terus bergerak mengikutinya, terus melangkah meninggalkan hari yang kelak berganti menjadi sebuah kenang dalam sebuah kehidupan.

Meski begitu, sekecil apapun sebuah tanya tetap tak pernah dapat terbiarkan. Sekecil apapun sebuah perubahan tetap menjadi segumpal tanya yang melayang-layang dalam alam pikiran.

Sungguh aneh memang...

Dan aku dapat merasakannya sekarang. Ketika sebuah akhir menghampiri jiwa untuk menjadi sebuah awal yang tak pernah ku-duga sebelumnya.

Terhempas di ketinggian, tertelan dalam hitam kegelapan. Terlalu sepi dan sangat sunyi, tak ada orang yang berlalu lalang. Sendirian dan aku memang berharap demikian, agar tak seorangpun mengetahui keberadaanku yang hanyut dalam kebimbangan, seperti hakikatnya keinginan dalam sedikit rasa takut yang begelombang. Meski sebenarnya aku hanya ingin mencoba, berupaya melakukan sesuatu yang bisa membahayakan diriku sendiri.

Ku- sadari itu, tapi aku sungguh tak dapat menahan diri untuk tidak melakukan kegilaan ini. Membiarkan maut membuka bibirnya dan siap menelan keinginanku yang melayang dalam keraguan.

Malam sudah bertandang. Bulan berhias di cakrawala bersama sapuan bintang. Cahaya mereka begitu terang, memandikan kegelapan dengan sinar temaram. Begitu jernih menyirami kekosongan ruang yang tak lagi berpenghuni. Tak ada lagi keramaian. Jalan di bawahpun sudah sepi dari kesibukan. Yang ada hanyalah sepi yang mencekam dalam ketinggian yang saling bersaingan.

Meski begitu, sulit sekali bagiku untuk mengurai keinginan ini menjadi sebuah kejernihan. Aku bahkan tak tahu, sudah berapa lama mata ini terpejam, merasakan kesiur angin yang bertiup dalam diam dan ketenangan.

Dan ketika mataku terbuka, terpindai kesunyian jalan di bawah dengan perasaan yang membuat isi dadaku tergelitik oleh rasa nyeri. Berdenyut-denyut hingga aku tercekik dalam kengerian.  Satu hal yang membuat jiwaku terjepit dalam hening yang menggigiti beku. Jantungku berdebar, tapi keinginan ini terus membakar, menyala dalam detaknya yang hingar.

Kucoba mendongak, menatap pada gelapnya langit, menghalau rasa ngeri yang terperangkap dalam kengerian sentuhan alam. Terjerembab dan aku terus berusaha untuk dapat menguasai segala yang menghambat, pada rasa takut yang terus berkuasa dalam diri untuk berhenti sampai di sini.

Mataku kembali terpejam, mendengarkan suara dendang alam di balik seruling malam. Angin bersiul menembangkan nyanyian kehidupan. Sesaat menjadi tenang dan aku tenggelam dalam nikmat yang tak terbilang.

Disini...
Aku sendirian...
Di puncak ketinggian...
Dengan segala ketidak-tahuan...

Tapi semua itu akan segera menghilang, menjauh dari alam pikiran untuk menjadi seutas kepastian tanpa lagi meneteskan kebimbangan.

Begitu sepi...
Dan aku berdiri dalam bimbang...
Dan keraguan...

Tak ada suara-suara. Yang ada hanya belai angin dengan basah sentuhannya yang menembusi keinginan.
Sedikit dingin...
Dan tubuhku mulai menggigil...
Dibelit kuasa alam...

Beberapa detik dalam kebimbangan...

Lagi-lagi mataku memandang ke bawah. Menatap dan mengukur kedalamannya dengan nafas tertahan. Dapat kurasakan kesepiannya, begitu lapang seperti mendung yang tertutup jelaga malam. Hanya ada beberapa titik terang, berbaris tegak sebagai lampu jalan yang panjang dan lenggang.

Gamang...

Dan sekarang...
Jantungku berdetak jauh dari hitungan kesempurnaan, berketuk-ketuk bagai patuk hujan yang berjatuhan.

Imajiku terbatuk...
Keinginan-pun kembali meletup...

Imaji gila...

Ku-namakan demikian, karena inilah kegilaan yang mengundang maut. Terlalu berisik menggelayuti pikiran. Terlalu kencang menekan-nekan keinginan. Berselancar ke permukaan yang tak lagi tertahankan.

Inilah tujuanku berdiri di sini...
Melayangkan tubuhku dari ketinggian...

Biar bagaimanapun...
Aku belum berkeinginan untuk mati dan aku-pun belum berfikir untuk meninggalkan orang-orang yang ku-cintai, atau bahkan aku akan sangat menyesali bila itu benar-benar terjadi.

Tapi, aku harus memiliki keberanian...
Mengambil sebuah keputusan...
Seperti ketika kunaiki tempat ini...
Tak ada yang bisa mencegah....
Bahkan suara anginpun...
Tak lagi mampu menghalangiku...
Untuk tidak melakukannya...

Berbulat tekad...
Dan kakiku mulai bergerak...
Perlahan....
Menjauhi rasa takut...

Mundur beberapa langkah, ku-tinggalkan ketinggian yang beberapa saat menenggelamkan diriku dalam kengerian. Kurasakan bila diriku tak lagi sendiri. Sebuah perasaan yang membuatku mampu memulas senyum. Bersama malam, biarlah semua ini berakhir. Tentang segala bimbang, tentang segala yang mengalir dalam setiap denyut tanya...

Kakiku mundur semakin jauh...
Meninggalkan bibir tebing...
Adrenaliku membuncah...
Jantungku berdetak cepat...
Setelah merasa cukup...
Dengan derap lari...
Tubuhku menyongsong...
Batas ketinggian...
Melompatinya...

Dan...
Hhhuuppsss...
Aku terhempas...
Seperti terbawa angin...
Rasanya sangat ringan...
Begitu sangat ringan...
Lalu tubuhku melayang...

Melayang...
Di batas gravitasi...
Yang membuat nafasku berhenti...

Karena inilah hidup

Keseimbangan
Dalam menentukan pilihan

Bahkan kematian
Akan menjadi satu bagian

Ketika maut
Berdiri di ambang sebuah pilihan


                                     *****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perempuan Berpedang Cinta ( D I V A )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang