04. Namanya Bara

44 1 0
                                    

Di novel-novel remaja yang sering kubaca, bagian yang menjadi favoritku adalah ketika pemeran utama dan pasangannya saling menatap dengan perasaan berkecamuk di hati masing-masing. Rasa suka, gugup, gelisah, malu, dan awkward bercampur menjadi satu. Bagian itu adalah part paling 'uwu'  jika mengikuti kosakata jaman sekarang.

Jadi, ketika hal itu terjadi padaku saat ini, aku sudah paham bagaimana alur selanjutnya. Ketika mataku dan matanya sama-sama bertemu pandang dalam ketidaksengajaan, rasa suka, gugup, dan malu itu pasti ada. Sama seperti bab cerita yang kusebutkan sebelumnya. Namun bedanya, hanya aku yang merasakannya karena aku tidak tahu mengenai dia sendiri. Apakah sama sepertiku atau tidak.

Kegiatan saling tatap dalam keterkejutan kami terputus. Lebih tepatnya cowok itu yang menghentikannya dengan menarik tubuhnya kembali hingga berdiri tegak. Aku juga tersadar dan berharap wajahku tidak seperti kepiting rebus yang akan membuat wajahku semakin jelek.

"Lo.. yang kemarin kan?" Suara itu kini tepat berada di sebelahku. Entah sejak kapan cowok itu bergerak dari tempatnya berdiri.

"I.. iya kak." Jawabku gugup.

"Kebetulan ya." Ada jeda sejenak, "Oh iya, gue juga kayaknya liat lo di kantin tadi."

Kalimat itu sebenarnya bernada biasa. Namun entah kenapa membuatku malu setelah ingat bahwa aku sempat tertangkap basah ketika memerhatikannya.

"Lo ngikutin gue?"

Aku melotot mendengar pertanyaannya. Aku memang menyukai, ah ralat, maksudku mengagumi dan terpesona kepadanya. Tapi bukan berarti aku suka mengintili dia kemana-mana seperti seorang fans fanatik. Aku tidak seperti itu!.

"Becanda." Cowok itu tertawa sebentar saat melihat raut wajahku yang tidak santai. Itu membuatku sedikit lega. Aku tidak tahu lagi harus bereaksi apa jika Bara benar-benar menganggap bahwa aku suka mengikutinya.

"Belum bel ya?" Bara bertanya kepadaku sambil menoleh ke sekitar. Gerakan itu membuatku ikut menoleh juga dan mendapati keadaan perpus yang sudah mulai sepi pengunjung.

Aku menggeleng, "Belum kayaknya. Gue juga belom denger sih."

Bara mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian kembali berkutat pada buku-buku di rak depan kami. Aku tidak tahu itu buku apa karena rak di depan ksmi bukan rak sastra. Sepertinya rak bagian astronomi. Atau biologi? Fisika mungkin?.

"Oh iya, Gue Bara."

Aku mengangguk sebelum akhirnya sadar sesuatu. Tunggu, Bara mengajakku berkenalan atau bagaimana? Aku menoleh pada Bara di sampingku. Tapi aku tidak melihatnya mengulurkan tangan seperti biasanya orang berkenalan.

Duh Jia, memangnya ini tahun berapa.

Bara mengambil salah satu buku di rak paling atas kemudian membukanya. Aku sendiri masih berdiri kaku seperti seorang cewek idiot. Dalam hati, aku bertanya apakah aku perlu menunggu Bara menanyakan namaku atau membiarkanku berinisiatif menyebutkan namaku sendiri?

"Gue Jia, kak." Pada akhirnya aku memilih opsi kedua. "Dan makasih ya udah nolongin gue kemarin."

Bara mengangguk namun matanya masih tetap tertuju pada buku. Aku menghela nafas pelan. Memang apa sih yang kuharapkan. Dia juga tidak perlu repot-repot memandangku. Harusnya aku tahu.

Aku berbalik kembali pada rak buku sastra. Disana aku mengambil novel secara random. Membaliknya untuk membaca sinopsis sebentar, kemudian mulai membuka lembar demi lembar.

Cukup lama kami dalam posisi seperti itu. Saling membelakangi. Itupun jika Bara masih di tempatnya berdiri. Aku tidak berani menoleh ke belakang hanya untuk sekedar memastikan. Aku hanya sebagian kecil dari fans-nya dan tidak perlu terlalu  banyak bicara demi mendapat perhatiannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Me, My Self, and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang