Empty Space - 1

29 10 6
                                    

17 Oktober 2013
10.28 AM

   Tunggu aku ya? Sebentar saja. Begitu katamu.

Lalu kamu pergi, meninggalkanku dengan segala pertanyaan yang memenuhi pikiran. Dengan segala rasa tidak ikhlas namun harus merelakan. Berulang kali aku mengatakan untuk diriku sendiri, Tenang, dia tidak lama. Aku ikut tersenyum disaat kamu berjalan menjauh, melambaikan tangan dengan senyum bulan sabit yang menyentuh mata. Pandanganku tidak lepas dari punggungmu, mengikuti terus, sampai sepenuhnya menghilang tertutup oleh kerumunan orang. Mataku bergetar menahan tangis. Hatiku teriris.

Kamu ingin aku berjanji satu hal, Jangan sedih, ada atau tidak adanya aku, harimu harus tetap berjalan. Saat kita bertemu, kita sudah jadi orang sukses ya.

Setelahnya, aku berjanji akan menepati janjiku denganmu.

----

26 September 2019
07.46 PM

   Setelah sejam yang lalu langit menumpahkan tangisannya yang cukup kencang, kini tangisannya mereda. Menyisakan bulir-bulir air yang membasahi jendela. Berlomba-lomba, siapa yang meluncur lebih dulu atau siapa yang bertahan lebih lama.

Aku mulai membereskan meja kantor yang sedikit berantakan. Mematikan komputer, mengambil jaket yang tersampir disenderan kursi, dan keluar dari ruangan. Kerja hari ini selesai.

Sesekali aku menyapa teman sekantorku. Berpamitan untuk pulang. Sambil menunggu pintu lift terbuka, aku mengecek arloji yang kupakai, 07.46 PM. Jam pulang kerja sudah lewat dua jam yang lalu. Tidak, aku tidak lembur. Aku hanya segaja, menunggu hujan reda sekalian menyelesaikan pekerjaanku.

Aku berjalan keluar kantor, menuju halte bus. Angin dingin yang berhembus mampu membuatku mengeratkan jaket yang kupakai.

Tak perlu menunggu lama, busnya datang. Sepertinya aku akan mampir sebentar, ke kafe yang memiliki banyak sekali kenangan. Aku sering kesana bersama seseorang, dulu. Dari yang hanya sekedar mampir untuk meminum coffee, sampai menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengerjakan tugas kuliah.

Aku tersenyum miris mengingatnya.
Sedang apa dia disana?

----

   Dentingan lonceng dari pintu kafe yang kudorong terdengar. Aku selalu memilih tempat duduk dekat dengan jendela. Tidak ada alasan mengapa. Hanya tidak suka menjadi pusat perhatian jika aku memilih tempat duduk ditengah.

Tak lama, coffee latte pesananku datang. Terlihat asap yang mengepul di atas gelas. Kuraih gelas tersebut, melingkarkan jemariku disana, merasakan hangat yang menjalar di telapak tanganku yang mendingin.

Sayup-sayup lagu dari penyanyi perempuan asal Negeri Ginseng, IU, terdengar melalui speaker kafe yang bervolume sedang.

Aku menyesap sedikit dari coffee latte tersebut. Mengalihkan pandangan pada jalanan kota Jogja yang begitu ramai. Buliran air hujan yang membasahi jendela kafe menghalangi penglihatanku.

Aku menghela nafas. Sesak.

Ada rindu yang menggebu-gebu ingin segera dikeluarkan. Tidak tau apakah ini ada ujungnya atau tidak.

Aku menepati janji.
Aku bekerja dengan giat.
Aku lulus kuliah tepat waktu.
Aku sukses.
Tapi seseorang yang kutunggu tidak kunjung kembali, sampai detik ini.

Aku rindu.
Aku rindu laki-laki yang menemaniku semasa SMA dulu.

Bahkan, sebelum tidur, aku selalu membuka galeri handphoneku. Melihat-lihat kembali semua foto saat kita masih bersama. semua kenangan menguap, memenuhi kepalaku. Tawamu yang dulu selalu mengisi hari-hariku bisa kudengar, memenuhi indra pendengaranku. Tutur katamu yang manis yang mampu membuatku bersemu, bahkan hanya dengan mengingatnya saja membuat pipiku memanas. Perlakuanmu yang selalu menghangatkan hatiku, membuatku tersentuh.

Aku rindu.
Aku rindu suaramu.
Aku rindu dirimu.

Aku rindu kamu yang selalu membelikanku cheescake di setiap hari minggu. Katamu, jangan terlalu berlebihan memakan suatu hal yang manis. Jadi kamu selalu membelikanku cake seminggu sekali. Ah, lagi-lagi aku tersentuh.

Mengingatmu selalu bisa membuatku tersenyum. Tertawa sendirian kala membaca pesanmu. bahkan menangis sampai kelelahan kala aku mendengarkan playlist yang kamu buat untuk diriku. Kamu manis, manis sekali. Membuatku menjadi candu.

Hei aku mendengarkan semua perkataanmu, Aku menunggu, Aku tidak lelah menunggu, sungguh.

Tidak, aku berbohong.

Aku pernah memilih untuk menyerah. Aku pernah mencoba melupakan. Memilih tidak peduli dengan segala hal tentangmu. Menyibukkan diri adalah cara yang ampuh. Dan aku berhasil. Sangat berhasil.

Dua bulan aku berusaha. Bahkan aku menerima ajakan kencan seseorang, menjalin hubungan yang dekat, dan akan membangun sebuah komitmen. Hatiku yang semula kosong, terasa kembali penuh. Aku bisa merasakan kembali sensasi menggelitik kupu-kupu.

Aku bahagia.
Aku tidak terpuruk lagi.
Aku tidak menangis lagi.

Tapi tiba-tiba di malam yang kelam, dengan sangat lancangnya bayang-bayangmu mampir, aku bahkan tidak tahu itu menjadi pemanis atau merusak bunga tidurku. Perkataanmu yang menyuruhku menunggu, kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Lalu, dengan bodohnya aku kembali lagi kepadamu. 

Aku kembali kosong.
Aku kembali berharap.
Aku kembali menunggu.

   Kurasakan mataku mulai memanas. Bibirku sedikit bergetar. Kutaruh gelas yang bersi coffee latte tersebut dengan pelan. Tanganku tremor, memeras pelan bagian dadaku yang nyeri. Tangisku pecah, aku mengigit bibir dalamku, menahan isak. Sakit sekali.

Ini sudah tahun ke enam kamu pergi, tapi aku tetap disini, berpikir positif bahwa kamu akan kembali. Bahkan membayangkan kamu yang tiba-tiba datang kerumahku dengan senyum termanis yang kamu miliki saja, mampu membuatku tersenyum malu dengan hati yang berdebar.

Kita tidak bertukar kabar. Terakhir aku menerima pesanmu saat kamu mengabari kalau kamu mendarat dengan selamat di Negeri Kincir Angin. Dan selanjutnya, aku tidak menerima pesanmu lagi. Bahkan semua sosial media yang kamu miliki sudah tidak aktif. Sudahku coba mencari tau kabarmu lewat teman-teman dekatmu, tapi nihil, mereka samanya denganku, tidak tau kabarmu. Aku mengira, mungkin ini caramu agar kamu fokus dengan tujuanmu disana. Kucoba mengerti dirimu, jangan khawatir. Aku juga mendoakaanmu, diriku disana baik-baik saja.

 Aku menghela nafas pelan. Berkali-kali, hingga kurasa sesaknya berkurang, kuhapus kasar air mataku yang mebasahi pipi. Selalu begini. Ingin lari, tapi tidak bisa. Ingin melupakan tapi kamu yang menduduki tingkat pertama dihatiku. Aku mempercayaimu, kalau kamu akan kembali.

----

Tbc.

Empty SpaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang