Pagi ini matahari mengintip malu-malu dari celah jendela kamarku. Aku meringis karena silau. Aku sudah terbangun sejak tadi, tapi rasanya kasur terlalu mencintai diriku, hingga membuatku sulit untuk beranjak.
Setelah mendengar suruhan ibu yang menyuruhku untuk bersiap, tanpa berlama-lama kumenurutinya, membersihkan kamar dan juga membersihkan diri, bersiap untuk berangkat kerja. Setelah mematut diri didepan kaca sebentar, aku langsung bergegas keluar kamar dan menuju meja makan, ibu sudah menunggu disana dengan segala macam hidangan makanan yang ibu siapkan.
Aku tersenyum, mengucapkan selamat pagi lalu aku menyantap sarapanku dalam diam. Sambil sesekali menyahut jika ibu berbicara.
Ibu datang sejak kemarin malam, menjengukku. Iya, setelah lulus kuliah dan bekerja, aku memilih untuk tinggal sendiri, mencari kosan sederhana yang terletak dipusat kota. Sebenarnya, ini bukan kosan, tapi Apartment studio. Kebetulan, temanku yang memiliki apartment ini pindah ke apartment lain. Dan aku ditawari olehnya untuk menyewa miliknya saja. Aku mengiyakan. Kapan lagi dapat meneyewa apartment dengan 'harga teman'.
"Dinda, kamu masih...menunggu?" tanya ibu pelan. Mungkin takut aku tersinggung.
Aku menelan habis makananku, meminum teh yang ibu buat untukku lalu tersenyum menatap beliau, bisa kutebak ibu pasti ingin mengatakan sesuatu.
"Seperti yang udah ibu tau."
Kulihat air muka ibu berubah sendu. Menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Kudengar helaan nafas pelan beliau yang lolos dari celah bibirnya. Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatapku.
"Nda, sama dia aja ya? Yang pernah ibu kenalin. Sudahlah, Nda. Kamu berhak bahagia."
Dugaanku benar. Ibu kembali membahas ini. Aku menaruh sendok pelan, meminum tehku sampai habis, lalu menatap ibu yang balik menatapku sendu.
"Kita udah pernah ngomongin ini, bu."
"Mau sampai kapan, Nak?" aku mendengar suara ibu sedikit bergetar.
Aku mengalihkan pandangan, lalu menyahut pelan. "Sampai orang yang kutunggu kembali." suaraku sedikit tercekat. Aku tesenyum tipis. Menyambar tas yang kuletakan di kursi sebelahku, lalu bangun dari kursi, menyalimi ibu yang masih menatapku sendu.
"Nggak apa, bu. Nanti kalau aku lelah, aku berhenti. Aku berangkat ya." lalu menyalimi tangan ibu tulus, berpamitan untuk berangkat kerja.
Hati ibu teriris, melihat anak keduanya menjadi seperti itu karena anak laki-laki yang entah kapan kembali. Seorang ibu hanya ingin melihat anaknya bahagia, dan sekarang ia sakit melihat anaknya terluka.
----
Tidak sekali dua kali ibu seperti itu, tapi aku selalu menolak halus. Beliau sempat mengenaliku dengan anak teman dekatnya, Abian namanya. Laki-laki yang sangat baik, dia dua tahun lebih tua dariku. Kami sudah pernah bertemu beberapa kali waktu itu, hingga sampai sekarang kita masih saling bertukar pesan singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empty Space
Teen FictionKetika menunggu menjadi pilihan terakhir dari sebuah ketidakpastian. Mencoba melupakan Tapi malah memutar balik badan Kembali terjebak didalam sebuah belenggu waktu Yang tidak tau kapan berakhir. "Kosong. Seperti rumah tidak berpenghuni." Gumamku. P...