Pesan Terakhir Abah

387 9 0
                                    


Di depan rumah, terlihat abah sedang termenung seorang diri, duduk di bangku yang sudah usang, terbuat dari bambu. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit, sesekali menghembuskan napas dalam-dalam. Aku yang baru saja pulang sekolah, segera mendekatinya.

"Assalamualaikum, Abah," ucapku sambil meraih tangan kanan beliau, kemudian menciumnya takzim.

"Waalaikumussalam. Asih, duduk, Nak."

Aku segera menyimpan tas yang sejak tadi di gendong, kemudian duduk tepat di samping abah. "Emak ke mana, Bah?"

"Lagi membantu Mak Emul masak-masak, untuk hajatan pernikahan anaknya.”

"Oh, aku kira ke mana."

Uhu, uhu, uhu ....

Terdengar abah terbatuk-batuk, tangan kiri menutup mulut, sementara tangan kanan menekan dadanya.

Abah batuk terengah-engah, seperti orang yang sedang kesakitan.
Aku segera berdiri dan berusaha memijat punggung abah, berharap batuknya segera reda.

"Abah sakit?"

"Ngga, Nak."

"Asih perhatikan batuk Abah sudah lama tidak kunjung sembuh."

"Abah tidak apa-apa, Nak. Ini hanya batuk biasa, nanti juga sembuh."

Uhu, uhu, uhu ...
Uhu, uhu, uhu ....

Abah kembali terbatuk lagi, yang selalu ditutupi tangan kanannya, sesekali meringis seperti menahan sesuatu.

"Abah beneran tidak apa-apa?"

"Ngga apa-apa, Neng."

Abah melebarkan telapak tangannya yang tadi ia gunakan untuk menutup mulut, kemudian meneliti, ada bercak darah terlihat di telapak tangan kanannya. Aku segera meraih tangan Abah. Terlihat ada darah segar beberapa tetes di tangannya.

"Ya Allah, batuk Abah berdarah."

"Sudah, enggak usah mengkhawatirkan Abah. Abah tidak apa-apa."

"Tidak apa-apa bagaimana? Jelas-jelas itu darah keluar dari mulut, saat Abah terbatuk. Kita periksa ke dokter saja, ya, Bah."

"Sudah, enggak apa-apa. Mungkin Abah hanya kecepekan dan cuma butuh istirahat saja."

"Makanya Asih juga bilang sedari dulu, Abah ngga usah capek-capek bekerja lagi, biar Asih saja yang kerja."

"Ngga apa-apa, Neng. Abah masih kuat. Lagian tugas mencari nafkah itu, bukan tugas kamu, tapi sepenuhnya adalah tanggung jawab Abah. Kamu tugasnya fokus saja sekolah, kan, sayang kalau sekolah kamu putus hanya karena bantuin Abah."

"Ngga apa-apa, Abah. Asih mah mending bantuin Abah cari uang, dari pada sekolah hanya menghabiskan uang."

"Tapi sekolah itu penting, Neng. Buat masa depan kamu juga."

"Alah, setinggi apa pun sekolahnya, wanita kalau sudah menikah itu ujung-ujungnya sumur, dapur, kasur juga kan, Bah."

"Kamu ini, kalau dibilangi orang tua malah mengeyel."

"He he ... maafin Asih, Bah."

"Setidaknya kalau kamu sekolah, setelah lulus, kan ijazahnya bisa dipakai buat melamar pekerjaan, dan bekerja layak, bisa senangin Emak, nanti kalau Abah sudah ngga ada."

"Ish, Si Abah mah ngomong apaan, sih? Kok jadi melantur begitu."

"Ya, kan, Abah sudah tua. Suatu saat nanti, pasti Abah akan dipanggil Sang Maha Kuasa. Dan kelak kalau Abah sudah tidak ada, Abah titip emakmu ya, Nak."

"Abah, udah ah, Asih ngga suka Abah bicara seperti itu."

Abah tertawa lepas, tapi terlihat tertawa sambil menitikkan air mata. Kulihat bulir-bulir itu menetes di pelupuk mata abah. Aku berusaha menghapus titian air bening itu, kemudian abah memeluk dan merangkulku dengan erat, penuh kasih sayang.

Kegadisanku Dirampas Majikan (Ketika Badai Memilihku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang