of something we didn't know the reason

152 7 0
                                    

Tak ada yang benar-benar berubah, kecuali beberapa kenyataan yang datang dalam kepahitan. Namanya mungkin tak lagi sama, tapi apa yang ia rasa masih sama nikmatnya. Ia melihat wanita itu yang masih sama memikatnya. Ia melihat wanita itu yang masih sama mempesonanya. Hari itu, tatkala istrinya tengah merapikan meja makan dan siap menyajikan masakan, ia bahkan masih mendapat satu dua kecupan. Masih merasakan satu ciuman panjang, sebelum dengan kesal bukan kepalang ia lepaskan tautan, sebab Jemmy berdiri di ujung tangga dengan satu desah kekesalan, "oh Gosh, not here parents." Bocah lima belas itu berucap terang-terangan.

Rasanya memang tak ada yang benar-benar berubah, kecuali satu. Sera, istrinya yang tak datang untuk membangunkannya. Tak ada istrinya yang membubuhi satu kecupan untuk menariknya membuka mata. Tak ada wanita yang dinikahinya dengan susah payah yang meraung kesal kala membangunkan putra mereka. Tak ada lagi, sebab wanita itu memilih untuk pergi.
Sera pernah begitu pengecut dengan memilih untuk meninggalkan Jemmy, ketika bocah itu masih belum genap tiga bulan. Sera pernah begitu pengecut dengan memilih untuk menikahinya dan meraih Jemmy kembali dalam dekapan. Dan wanita itu kembali menjadi pengecut dengan memilih untuk pergi sementara dia itu tahu bahwa dia tak akan lagi punya tempat untuk kembali. "Aku pengecut Jung. Dan aku takut mengecewakanmu lagi." Ucap wanita itu sebelum pergi. Sialan. Wanita itu bahkan Tak memberikannya alasan. Tiba-tiba wanita itu dapat hidayah untuk meninggalkannya? Ya ampun, yang benar saja.

Tiga belas tahun. Mereka menikah selama tiga belas tahun, dan ia ragu, pernahkah sekali saja ia membuat wanita itu jatuh cinta? Di samping menjaga putra mereka dan menikahinya kala bocah itu mampu menyebut namanya, sanggup mengingat bahwa ia adalah ayahnya. Pernahkah ia membuat wanita itu tersentuh sekali saja, bukan karena ia adalah orang pertama yang menyadari bayi mereka hari itu demam sebab hendak tumbuh gigi. Pernahkah, sekali saja ia membuat wanita itu tersedu dan haru, bukan karena ia yang tiap hari menjemput Jemmy dan mampu menghindari pertanyaan seputar bagaimana bocah itu tumbuh. Tapi, karena ia. Hanya karenanya. Tentu tidak pernah, pasti tidak pernah, jawaban wanita itu lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa muaknya dia terhadapnya. "Kau membuatku hidup layaknya di surga. Tapi, aku justru memberimu neraka." Ucapan itu jelas omong kosong belaka, wanita sering sekali berucap demikian saat hendak meninggalkan, bukan?

"Dad, kau mabuk sepagi ini?" dilihatnya bocah itu turun dengan wajah berkerut-kerut. Tubuhnya di balut dengan hoodie, dan sebuah ransel yang di sandangnya di bahu. "Ini hanya sekaleng bir, ya ampun." Ucapnya pelan, sembari memperhatikan putranya yang mencibir di belakangnya, ia mengambil sepasang roti dan selai strawberry. "Boleh kucoba kalau begitu?" tanya bocah itu, yang sontak membuatnya mendelik sebab di dapatinya Jemmy yang bersiap menggenggam kaleng bir di atas meja. "Dude," ucapnya sambil meraih kaleng birnya, "bercanda, ya ampun. Orang tua sepertimu tidak bisa diajak bercanda." Remaja itu kembali mencibir, sembari meraih roti dan selai strawberry dari tangan ayahnya, ia kembali bertanya, "where's mommy?" kedua mata itu menatap pada ayahnya, dan lelaki itu bungkam. Butuh beberapa waktu untuknya menjawab pertanyaan itu. "She's gone." Ucapnya, tak paham dengan bimbang yang mendera suaranya. "Where?" tanya bocah itu lagi, dan ia hanya mampu mengedikkan bahu sembari berkata, "dunno." Tapi sepertinya jawaban itu tak mampu memuaskan hati puteranya, jadi ia putuskan untuk menambah jawabannya. "She's not telling me."

Ia pikir, ia mampu menyembunyikan cacat pada keluarganya lebih lama lagi. Ia pikir, ia mampu menambal kerusakan pada keluarganya dengan hati dan kesabarannya. Tapi ia lalai, sebab seharusnya ia menghentikan kerusakan itu, seharusnya ia menyembuhkan cacat itu alih-alih terus menutupi dan menyembunyikannya. Ia gagal. Bahkan sejak awal.
Ia pikir, selama ia punya Jemmy, ia akan baik-baik saja meski hal ini—saat sang istri meninggalkannya— terjadi. Tapi, meski tahu hal ini akan terjadi, hatinya tetap terasa nyeri.

Clarity [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang