Selamat membaca ❤️
.
.
."Rain!"
Seseorang memanggilku setengah berteriak, membuatku menghentikan langkah. Aku menoleh dan mendapati dua orang gadis berjalan mendekat. Mereka Luna dan Sarah, teman terdekatku di kampus.
"Hai," sapaku dengan tangan kanan terangkat ke atas.
"Tumben kamu bolos kelas pertama, Rain?" tanya Sarah, sambil menggandeng lengan kiriku. Rambutnya yang digerai sesekali bergoyang tertiup angin.
Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, "Tadi sehabis antar Kinan, motorku mogok. Harus ke tukang bengkel dulu, deh."
Sarah tertawa pelan setengah mengejek, "Ayahmu itu orang berada, Rain. Kamu ambil sedikit saja uangnya untuk beli motor baru, tidak akan membuatnya langsung jatuh miskin. Masih saja kamu bertahan dengan motor bututmu itu."
Aku mencibir, sementara Luna ikut tertawa membenarkan ucapan Sarah.
"Motor itu terlalu berharga untuk kugantikan dengan yang lain, Rah. Sekali pun harus mogok berkali-kali dalam seminggu, tak akan pernah aku ganti dengan yang lain. Itu --"
"Hadiah dari ayahmu saat kamu lulus ujian membuat SIM, begitu kan maksudmu? Aku sudah hafal, Rain!" Sarah segera memotong ucapanku, membuat bibirku mencebik.
Luna tertawa kecil kemudian merangkul bahuku. "Sudah-sudah. Ayo sekarang kita ke kantin. Cacing-cacing di perutku sudah berdemo semua ini."
Kami bertiga akhirnya pergi ke kantin. Sebenarnya ini belum terlalu siang, baru pukul sepuluh pagi. Tapi berhubung perut Luna yang sudah seperti karung itu tidak bisa menunggu sampai jam makan siang tiba, akhirnya aku mengiyakan saja ajakannya.
Setiap orang butuh teman, begitu pula denganku. Mempunyai Luna dan Sarah sebagai teman adalah salah satu hal yang harus kusyukuri. Sejak dulu aku memang kurang pandai bergaul dengan orang lain, itu sebabnya aku hanya punya mereka berdua sebagai teman. Luna, gadis dengan postur tubuh sedikit berisi dan rambut ikal sepunggung. Wajahnya chubby', dengan lesung manis di pipi kirinya. Meskipun kadang suka blak-blakan dalam berbicara, namun Luna adalah gadis yang baik, sederhana dan tidak suka hal-hal yang mewah.
Sementara Sarah adalah gadis cantik yang suka kesempurnaan, sifatnya berkebalikan dengan Luna. Sarah itu suka sekali berdandan, dan berpikir bahwa kecantikan fisik adalah hal yang paling penting. Terlepas dari sifat kedua temanku itu, aku tetap menerima mereka apa adanya seperti mereka menerimaku apa adanya aku.
***
Kawan, dalam hidup kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita di masa depan. Entah itu minggu depan, besok atau bahkan satu jam kemudian. Tak ada yang tahu apa yang sudah Tuhan rencanakan untuk kita ke depannya.
Pun aku yang beberapa jam lalu masih bisa bercanda dan tertawa bersama Sarah dan Luna tidak akan menyangka bahwa sekeluarnya aku dari kelas, sesuatu yang mengejutkan tengah menungguku di luar. Seolah langit yang cerah dan terang, tak pernah menyangka bahwa awan hitam tiba-tiba bergerombol mengundang rerintikan gerimis yang perlahan mulai deras. Menjadikannya gelap dan menangis.
Kelas baru saja selesai sepuluh menit yang lalu, membuat beberapa mahasiswa di ruangan ini segera keluar. Beberapa yang lain masih saling mengobrol, membahas hal-hal yang menarik untuk dibicarakan. Aku segera bergegas keluar sendirian, karena Luna dan Sarah memang tidak satu fakultas denganku.
Berjalan beberapa langkah dari kelas, entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang aneh. Jantungku berdegup kencang, seolah sesuatu yang buruk telah terjadi. Aku tidak tahu apa itu, tapi yang jelas perasaanku tidak enak. Aku menggelengkan kepala dan menarik-hembuskan napas, berusaha bersugesti bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi, aku harus percaya.
Sayangnya sugesti itu tak mampu mengurangi kegelisahanku. Jantungku semakin berdegup kencang, dadaku berdebar. Semakin berjalan melewati koridor di mana banyak mahasiswa berkumpul membicarakan entah apa, aku semakin merasa ada yang tidak beres.
Terlebih saat aku merasa beberapa pasang mata memperhatikanku, bahkan tak sedikit yang menatapku terang-terangan dengan tatapan aneh. Mereka seolah sedang menilaiku, berbisik-bisik dengan seringai aneh pada bibir mereka. Aku berusaha mengabaikan, toh aku merasa tidak melakukan sesuatu hal yang salah selama ini. Mereka bahkan tidak mengenalku dengan dekat, sehingga mustahil tiba-tiba mereka tertarik memperhatikanku. Sekali lagi aku mencoba berpikir positif.
Sampai di parkiran motor, sebuah hal buruk mengejutkanku setengah mati. Bagaimana tidak? Mataku benar-benar terbelalak kaget melihat kondisi sepeda motorku yang mengenaskan. Ban depan dan belakangnya sudah dicopot dan digantung di pohon mangga yang tinggi, di halaman gedung fakultas. Kaca spion kiri sudah tergeletak hancur di lantai paving, dan yang sebelah kanan sudah tercabut dari tempatnya dan entah ada di mana saat ini. Bukan hanya itu saja, yang lebih parah adalah kondisi badan motor yang sudah dipenuhi air kotor yang berbau tak sedap.
Pelupuk mataku memanas, pandanganku perlahan memburam akibat air yang kutahan sebisa mungkin untuk tidak membasahi pipi. Aku menggigit bibir bawah, menoleh ke arah kiri pada beberapa mahasiswa yang entah sudah sejak kapan memusatkan perhatiannya padaku. Mereka menatapku tajam, seolah-olah aku sudah melakukan kesalahan fatal. Niatku yang ingin bertanya pada mereka tentang siapa tersangka dari kerusakan sepeda motorku, langsung lenyap begitu saja tergantikan oleh rasa cemas dan takut.
Dengan langkah pelan dan tubuh gemetar, aku mendekati sepeda motorku. Aku menunduk untuk mengambil bingkai kaca spion yang telah pecah itu namun belum sempat tanganku menyentuhnya, sesuatu yang mengerikan membuatku terpekik keras. Tiga ekor bangkai tikus bertengger manis di jok motor, dengan darah yang sudah mengotorinya. Aku meringis, tanpa sadar sudah menangis dalam diam.
Tas selempang yang kupakai terjatuh begitu saja. Bibirku bergetar hebat, sementara lututku sudah lemas dan hampir terjatuh jika saja tanganku tak berpegangan pada pohon mangga. Siapa pun yang melakukan hal sekejam ini, pasti orang itu telah kehilangan satu organ terpenting dalam tubuhnya yaitu hati. Aku mendongakkan kepala menatap langit yang mulai menghitam. Kurasa hujan akan segera turun dengan lebat, membawaku dalam badai yang tak bisa terelakkan. Entah apa itu.
***
Hai hai hai. Aku bawa cerita baru, buat menemani kalian di masa pandemi yang masih mengharuskan kita di rumah aja. Tenang, ini sebenarnya sudah tamat di word-ku jadi nggak akan mengganggu cerita lainnya. Aku akan up cerita ini tiap hari. Jumlahnya cuma 17 part kok. Semoga kalian suka dengan cerita ini ya. Thank you very very much ❤️❤️❤️
Magelang, 29 Mei 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Seni Aklimatisasi
قصص عامةSetelah Indra terjerat kasus korupsi, Rain tahu hidupnya tidak akan sama lagi.Tidak ada yang tersisa di hidupnya. Rumah dan aset-aset mereka disita. Ia dan Kinan-adiknya-harus pergi dari rumah yang menjadi saksi masa kecil mereka. Dibenci semua oran...