SA 1

1.7K 169 1
                                        

Selamat membaca ❤️
.
.
.

Langit yang terbentang luas mempunyai banyak rahasia kehidupan yang tidak dapat disangka-sangka oleh manusia. Tempatnya yang begitu tinggi tak serta merta membuatnya angkuh dan membanggakan diri pada bumi yang ada di bawahnya. Langit membutuhkan bumi, salah satunya untuk menerima air mata yang akan ia tumpahkan.

Kadang langit menangis bahagia, namun juga kadang menangis sedih sebagai bentuk empatinya pada manusia yang tengah dirundung kepiluan. Tangis empati itulah yang mungkin saat ini dikeluarkan langit, sebagai caranya menemaniku di senja yang bersedih karena matahari benar-benar telah diusir oleh awan hitam.

Senja ini aku berjalan di bawah rintik basah yang ditumpahkan mereka untuk menyembunyikan perih yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Rumah-rumah di pinggir jalan kompleks perumahan yang kulewati ini tampak membisu, menatapku penuh ejekan seolah aku benar-benar pantas mendapatkan hal buruk seperti tadi siang.

Dengan pakaian yang basah kuyup, aku melangkah gontai menuju rumah Ayah. Rumah milik laki-laki yang menjadi penyebab terjadinya hal memalukan sekaligus menyakitkan ini. Masih berdengung di telingaku, umpatan-umpatan kasar teman-teman di kampus yang tertuju padaku siang tadi.

"Munafik! Mukanya saja yang kelihatan baik dan polos, nyatanya cuma tikus got!"

"Sampah masyarakat!"

"Maling!"

"Tidak menyangka seorang Raina adalah perempuan bermuka dua!"

"Apa urat malumu sudah putus hingga masih berani menampakkan wajah di depan orang-orang yang ayahmu rampas haknya?!"

"Atau kamu juga tahu kelakuan busuk ayahmu yang terhormat itu?!"

"Ini nih yang namanya maling VIP, bikin jijik!"

Dan berbagai umpatan-umpatan lain lagi yang mungkin akan terdengar cukup kasar jika kuulang di sini. Sungguh, mendengar ucapan-ucapan kasar itu membuatku bukan hanya tersinggung namun juga bingung.

Aku bingung, kenapa mereka mengataiku seperti itu? Kelakuan busuk? Apa yang dilakukan Ayah hingga mereka sedemikian rupa menghakimiku sampai-sampai sepeda motorku yang tidak bersalah, juga ikut jadi korban?

Selama aku berkuliah di kampus itu, aku sama sekali tidak bersikap menonjol bahkan aku cenderung low-profile meski—aku tak berniat sombong—Ayah memang seterkenal itu dan itu juga sedikit banyak membuat keluarga Ayah ikut terkenal juga. Tapi itu tak serta merta membuatku bersikap angkuh meski ayahku seorang pejabat.

Dan sepertinya mereka juga tidak tertarik untuk mengenalku lebih dekat, yah aku sadar bahwa aku bukanlah tipe orang yang mudah menarik perhatian. Bahkan dulu saat masih SMA, tidak sedikit teman yang sungkan untuk mendekatiku karena aku lebih terkenal dengan sifat dingin, pendiam, dan agak jutek. Lalu dengan latar belakang sosial yang seperti itu, kenapa sekarang mereka menghakimi sedemikian rupa seolah-olah kedudukanku setara dengan artis-artis terkenal itu? Aneh.

Tapi pemikiran itu langsung terjawab begitu aku memutuskan untuk pergi dengan naik taksi setelah sebelumnya menitipkan sepeda motor—yang kondisinya mengenaskan—kepada sekuriti kampus. Jantungku benar-benar mau copot dari tempatnya saat supir taksi menghidupkan radio di mobilnya, dan memperdengarkan sebuah berita terkini yang langsung terasa menyayat di telinga.

"... pagi tadi seorang pejabat DPRD dijemput paksa oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangannya tentang keterlibatannya terkait penggelapan dana APBD, yang beritanya sudah heboh sejak dua bulan belakangan. Pejabat yang berinisial IJ itu dibawa pihak kepolisian di rumahnya, bertepatan dengan kepulangannya dari kunjungan di Yogyakarta.

Seni Aklimatisasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang