Matahari

19 6 0
                                    

Keringat menetes dari pelipis mereka yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Beberapa bekerja untuk dirinya sendiri. Dan beberapa tak tau apa tujuan hidupnya.

Hangat matahari pagi menemani mereka. Meyemangati para pengejar mimpi dan memberi harapan pada jiwa yang hampir mati.

Merupakan tugasnya, Sang Dewi Matahari. Tugas mulia menyinari bumi dengan cahayanya dan mengobati dengan kehangatanya.

Hari ini pun mathari terbit sebagai tugasnya. Tugas yang tidak boleh dilalaikan.
Matahari adalah sumber kehidupan.

Hari ini pun ia pergi dari timur dan berjalan ke barat. Tak ada jalan lain yang ditempuhnya.

Ia menuntun jiwa. Tapi kemana jiwanya yang abadi akan pergi? Jiwanya tidak bisa pergi. Terikat. Tidak bebas.

Adakah matahari bagi Sang Matahari sendiri?

.
.
.

Ia tak pernah menyangka bahwa mataharinya bersinar dari seorang bocah tukang roti.

Setiap pagi ia membantu ayahnya dengan gandum-gandum. Membeli susu dan telur. Bekerja sambilan sebagai pengantar koran. Membantu ibunya memikirkan resep baru. Mengangkat roti dari oven. Dan di sela-sela kesibukanya ia membaca buku. Ia adalah seorang pemimpi. Jiwanya menggebu-gebu. Cahayanya begitu terang. Dan tatapanya begitu hangat.

Sang Dewi mnemukan kemana arah jiwanya. Setiap pagi menerbitkan matahari dengan sebuah pertanyaan, "Apa yang dia impikan hari ini?"
Tatapanya tak pernah lepas dari bocah itu. Tapi ia tidak boleh melalaikan tugasnya. Terkadang ia terlambat menidurkan matahari karena terlalu senang melihat bocah itu tersenyum.

Saat sedang memimpikan sesuatu, bocah itu selalu menatap ke langit. Entah apa yang dilihatnya. Tapi Sang Dewi seringkali tersipu malu. "Apakah dia sedang menatapku??", Awan menutupinya sedikit. "Mana mungkin", ia menggelang. Awanpun kembali berjalan, tak lagi menutupi matahari yang tengah malu-malu itu.

Rambut hitam bocah itu berkilau terkena cahaya mentari. Mata kuningnya bak memancarkan semua isi hatinya. Lembut tapi penuh dengan petualangan. "Apakah aku bisa pergi ke matahari?", Tanyanya sambil tersenyum simpul.

Sang Dewi tersenyum. Ia tak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Tapi ia mengajukan pertanyaan yang sama di lubuk hatinya, "apakah aku bisa bertemu denganmu?"

.
.
.

Tahun demi tahunpun berlalu. Bocah itu sudah beranjak dewasa. Sepertinya baru sebentar Sang Dewi menaruh hati padanya. Tapi waktu tak dapat berbohong. Bocah itu.. ah. Laki-laki itu menjadi tinggi, suaranya juga berubah. Seperti itulah manusia ketika beranjak dewasa, terutama yang berjenis kelamin laki-laki. Tiba-tiba saja mereka jadi tinggi.
Meskipun begitu ia tidak berubah. Ia tetap memiliki cahayanya.

Sang Dewi memopang dagu mengamati laki-laki itu. Ia tersenyum tapi tak lama. Kehidupan manusia begitu cepat untuk jiwanya yang abadi. Hatinya menjadi mendung. Begitupula langit tempat laki-laki itu berpijak.

Sudah banyak ia melihat lepasnya jiwa dari raga manusia, semua bukan urusanya dan dia tidak peduli akan itu. Tapi menyadari laki-laki itu bertambah umur begitu sakit. Ia akan meninggal pada waktunya. Mataharinya tidaklah kekal. Hari itu akan tiba.

Dan itu pasti.

Setelah hari harinya yang begitu cerah. Menguapkan begitu banyak uap air

Sang dewi menutup wajahnya dengan keduantanganya.

Awan gelap semakin menutup langit.

Kemudian hujan pun turun begitu deras.

.
.
.

Begitu pula hari itu. Saat lelaki dengan kerutan di wajahnya, dengan rambut hitamnya yang memutih, dengan matanya yang hangat itu terpejam untuk selamanya.

Hujan turun begitu deras.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cursed GoddessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang