Awal Baru Sebuah Senyuman

31 6 12
                                    

Gemerincik air hujan masih terdengar, lama-lama kian menderas. Sesekali kilatan petir muncul sebelum akhirnya terdengar gemuruh guntur. Sementara itu jam dinding baru menunjukkan pukul dua tepat. Siang hari yang seharusnya diselimuti cahaya terik mentari, sekejap berubah gelap dan mendung. Membuat suasana kelasku menjadi kelam.

Pak Tono masih sibuk menjelaskan tentang perlawanan rakyat Indonesia di masa penjajahan. Dan seperti biasa kelas Sejarah hampir selalu membuatku mengantuk sepanjang pelajaran berlangsung. Maka aku sedikit tersentak ketika Pak Tono tak sengaja menjatuhkan penghapus. Lalu ia menyuruh seorang murid untuk mencatat sesuatu di papan tulis. Rasti, teman semejaku juga selaku sekretaris segera maju ke depan. Ia menuliskan nomor 1 sampai 10. Sepertinya akan ada pembagian kelompok.

"Baik, semuanya. Untuk materi kali ini, kita akan bermain peran." Suara berat Pak Tono memecah keheningan. Semua murid sontak menoleh ke depan.

Pak Tono berdeham, "Bapak akan membagi kalian menjadi sepuluh kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang. Kalian harus membawakan sosiodrama singkat tentang perlawanan kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap kolonialisme," jelas Pak Tono kemudian. Seisi kelas mulai sedikit riuh.

Pak Tono kembali berdeham. Ia berjalan menuju barisan bangku di dekat pintu. "Kita mulai berhitung satu sampai tiga dari barisan ini." Pak Tono menunjuk salah satu murid yang duduk di bangku pertama. Sesi berhitung pun dimulai. Aku terus menoleh mengikuti jalannya hitungan. Hingga tiba pada bagianku.

"Satu!" seruku lantang.

"Dua!" Rasti balas berseru dari depan.

"Tiga!" Suara terakhir berasal dari seorang gadis yang duduk di barisan bangku sebelahku. Barisan terakhir, dan ia duduk sendiri yang berarti sesi berhitung selesai.

Rasti lekas menuliskan nama-nama murid yang akan menjadi anggota setiap kelompok berdasarkan hitungan yang mereka peroleh. Aku menjadi anggota kelompok terakhir bersama Rasti dan Sarah-gadis yang duduk sendirian. Kami harus membawakan sosiodrama tentang perlawanan Kerajaan Bali terhadap Belanda.

"Kelompok kalian sudah terbagi, kan? Kalau begitu siapkan naskah kalian dengan sebaik mungkin. Jangan lupa berlatih! Kita akan tampil mulai minggu depan," ujar Pak Tono sebelum jam pelajaran berakhir. Ia segera pergi setelah memberi salam. Seketika itu pun kelas berubah ramai. Masih ada sekitar lima menit tersisa sebelum bel pulang berbunyi.

Aku sendiri segera memasukkan buku-buku ke dalam tas. Kulihat Rasti telah kembali duduk di bangkunya. Ia sempat menoleh ke arah Sarah lalu mengemasi buku-bukunya. "Dira, kita sekelompok dengan Sarah, kan?" tanya Rasti dengan suara pelan.

Alisku terangkat."Ya, memangnya kenapa? Kamu enggak suka?" Aku balas bertanya.

Rasti kembali melirik Sarah, memastikan gadis itu tidak akan mendengar perkataannya. "Kamu tahu, Dir? Kudengar Sarah itu murid bermasalah," ujar Rasti dengan suara nyaris berbisik.

Aku mengernyit. "Kata siapa, sih? Memangnya kamu sudah tahu masalahnya?" Aku tahu Sarah memang murid baru. Baru pindah sebulan yang lalu. Kulihat ia memang sangat pendiam. Hampir tidak pernah berbaur dengan murid lain selain kegiatan piket dan tugas kelompok. Dan baru kali ini aku satu kelompok dengannya. Tapi aku tidak melihat ada yang aneh darinya.

"Aduh, Dira! Kamu lihat sendiri, kan? Selama sebulan ini berapa kali dia enggak masuk kelas? Kalau dia ada macam-macam, bagaimana nasib tugas kelompok kita?" Rasti menepuk dahi. Aku terdiam, berpikir. Sarah memang pernah beberapa kali izin tidak masuk tanpa alasan yang benar-benar jelas. Biasanya izin karena acara keluarga. Pernah juga sekali ia jatuh sakit. Tapi aku tidak pernah benar-benar tahu yang sebenarnya. Sarah cukup sering tidak masuk kelas akhir-akhir ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang