1 - This Man

215 2 0
                                    

“Chanyeoolll~~”

“Hai, Yeol!”

“Woy, bro! Mo kemana?!”

“Kak Chanyeol!!!”

“Yeol, ntar malem manggung? Sip laaahhh!”

*senyum malu-malu* “Hai,”

“Hai, Ganteng~”

Yah, kira-kira begitulah berbagai jenis macam sapaan yang gue terima disaat gue baru turun dari mobil. Yep, gue baru markir mobil dan turun 5 detik aja sapaan udah sebegitu bervariasinya, apalagi kalo gue mulai masuk ke dalem kampus? Bisa bayangin gak jenis macam sapaan apalagi yang ditujukan ke gue?

Oh yes, Imma famous and fabulous man, Park Chan Yeol.

Siapa yang dikenal seluruh warga kampus dari ujung ke ujung? This man.

---

Ketenaran gue bermula disaat gue memulai dunia perkuliahan. Hahaha, you heard it right, gue terkenal sejak ospek. Bahkan gue diperlakukan khusus sama panitia cewek waktu itu. Entah makan siang gue dibanyakin sendiri plus ada surat cintanya, kalo gue ngelakuin kesalahan adaaaa aja yang belain, bahkan gak gue minta pun ada aja panitia yang deket gue. Dengan kata lain: level ganteng gue sudah keterlaluan.

Mau protes? Bilang gue takabur? Silahkan! Toh kenyataannya emang gitu. Awalnya banyak cowok-cowok yang gak suka sama gue karena mereka bilang gebetan mereka pada larinya ke gue dan usaha mereka jadi gagal. Lha? Salah gue? Salah temen-temen gue? Salah sendiri muka kek gitu dipelihara! Tapi seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka menjadikan gue ‘senjata’ buat menarik massa ke organisasi atau klub yang mereka punya. Selama gue mampu sih, gue akan menyanggupi.

Kayak sekarang ini nih, gue lagi bantuin anak-anak Social Care Club buat ngumpulin dana dan barang-barang secondhand buat disumbangin. Anak-anak SCC-nya sendiri mengakui sebelumnya, setelah satu jam mereka keliling, paling cuma dapet 200-300 ribu. Tapi kalo ada Chanyeol, dalam 30 menit aja udah dapet 500 ribuan. Kece gak tuh?!

Saat gue nengok ke samping, ada Annisa yang lagi nyortir barang-barang bekas kayak baju, celana, dan alat-alat tulis. Iseng, gue samperin dia.

“Sini, Cha, gue bantuin,”

“Iihh, jangan panggil gue Icha!” sungut Annisa kesel lalu mukul lengan gue pelan.

Gue ketawa. Gue udah tau itu, tapi seru aja gangguin dia dengan manggil pake nama Icha. “Iya iya, Neng Nisa. Sini, gue aja yang ngangkat dusnya,” Oh iya. Sekilas info. Nisa gak mau dipanggil Icha karena menurut dia itu mainstream dan di mana-mana orang bernama Annisa pasti dipanggil Icha. Dan dia gak mau jadi one of those Annisas. Dasar orang aneh.

“Ngeremehin?” kata Nisa sambil gulung lengan kemejanya.

“Yeee, bukannya gitu. Mau taroh di mana harga diri gue sebagai cowok kalo liat cewek disebelahnya angkat-angkat dus kayak gitu, hah?!”

“Tuh, taroh aja di dalem dus bareng baju-baju bekas,”

“Gak elo aja? Harga diri lo bukannya udah gak berguna sejak salah sebut nama dipanggung pentas seni?”

“Chanyeoooolllll!!!!!” Lalu tubuh gue mendapat serangan pukulan bertubi-tubi dari Nisa. Tapi gue gak melawan.

Gue kenal Annisa semenjak ospek. Dia adalah temen sekelompok gue. Dan tebak siapa ketua kelompoknya? Ohoho, this man, of course. Cuma dia kayak jadi kreatifnya kelompok gue, soalnya mulai dari aksesoris, nama, dan yel-yel kelompok itu semua dia yang buat. Gue sebagai ketua mah mengapresiasi apa yang anggota kelompok gue salurkan aja.

Sebenernya sejak saat itu juga ni anak gue perhatiin. Wajahnya teduh banget, gak menyiratkan sifat galak dan juteknya. Seriusan, dia itu galak, jutek, tapi manja. Rambutnya gak pernah ada perubahan, selalu sepunggung. Dia bilang dia gak mau lebih panjang atau lebih pendek daripada itu. Hobinya pake kaos dan untuk outer dia pake kemeja. Jarang tuh pake cardigan atau jaket. Dan bawahannya selalu ripped jeans atau blue jeans biasa dan converse. Simple dan cocok banget sama dia. Ibaratnya itu trade mark dia banget.

Kayak yang gue bilang tadi, Nisa itu manja. Kalo kita ada rapat dan jam udah menunjukkan jam 9 malam lewat, pasti Nisa akan menarik jaket gue dan berkata, “Yeol, pulangnya bareng ya, hehehe.” Dan penakut. Gue lupa bilang. Dia paling gak bisa nonton film horor. Waktu ada kelas kosong, anak-anak pada sok ngide nonton film horor dengan persyaratan gak ada yang boleh keluar ruangan. Gue sih setuju-setuju aja. Tapi sepanjang film, Nisa ngumpet di belakang punggung gue dan sesekali nongolin kepala. Takut tapi kepo. Itulah dia. Dan matanya yang berada di pundak gue itu adalah hal yang paling indah dan jernih yang pernah gue lihat. Rasanya dia pengen gue peluk.

Lalu, kenapa Sang Park Chan Yeol tidak menjadikan Annisa Cynthia Dewi sebagai kekasihnya?

Alesan pertama: she knows me too well. Jauh lebih baik daripada cewek manapun.

Alesan kedua: deseu uda punya lakik cyiiinn~

Meskipun Chanyeol dikenal sebagai pria yang gak pernah keabisan stok wanita, tapi tetep aja gue liat-liat mangsa. Masa peliharaan ladang sebelah mau diembat juga, padahal ladang sendiri gak pernah keabisan stok. Gue masih tau diri lah. Meski pacarnya Nisa jauh di sono noh, di Amerika, tapi tetep aja statusnya taken.

Jadi lebih baik gue mengagumi dia aja dari jauh, toh dengan begini gue bisa dengan leluasa jailin dia. Kayak tadi. Gue bisa leluasa bikin dia kesel sampe tangannya menyentuh tubuh gue, meski sakit. Gue bisa leluasa ngajak dia makan tanpa harus dia berpikiran macem-macem.

Dan gue bisa leluasa membuat dia tersenyum tanpa harus jadi siapa-siapa buat dia.

And don’t call me Chanyeol if I can’t get what I want.

Who’s falling too deep in love with Annisa? Yes, this man.

Chanyeol's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang