PART 1

64 2 0
                                    

~~~~~~~~~~~

Berdua.

Bersama di pinggir kota lama. Lampu kaca menemani senja mencoba untuk menambah suasana roman di antara kita.

Aku senang, kamu senang. Kita sedang berbahagia hari ini. Aku dengan almet di tangan yang baru saja kudapatkan dan kamu dengan setiket pesawat terbang menuju Belanda.

Banyak orang mengira-ngira status apa yang ada di antara kita. Mereka curiga dan ingin bertanya. Aku? Aku hanya terdiam dan tersenyum masam karena kalimat tanya mereka. Mereka mengira kita adalah sepasang kekasih yang sedang mabuk cinta. Nyatanya, kita hanya teman dekat yang jarang bertatap muka. Aneh memang, karena mungkin mereka merasakan aura istimewa yang ada saat kita bersuara. Mereka melihat hal tidak nyata yang terlalu tabu untuk dirasakan kita berdua.

"Alhamdulillah banget aku bisa dapet tiket ini." Katamu senang dengan binar yang terlihat jelas dari kedua matamu.

Aku tersenyum tipis. Jenis senyuman yang selalu aku tunjukan saat kamu bahagia akan suatu hal yang membuatku merana.

"Kapan berangkat?" Tanyaku sambil mencoba bersemangat untuk membahas topik perpisahan kita.

"Lima hari lagi."

Aku terhenyak mendengar jawabanmu. Kalimat itu bagaikan talak yang merasa menyakitkan untuk didengar sekaligus dirasakan.

Aku menrik nafas dengan berat, berharap dengan cara perasaan sedihku tersimpan dengan rapat. Aku enggan menunjukan kesedihan itu malam hari ini, karena dengan menunjukannya, malam kebahagiaan kita akan rusak dan berantakan.

Aku diam, aku tidak tau bagaimana cara menjawabnya dan bertukar pengalaman denganmu saat hatiku terasa miris.

Hingga akhirnya keheninganlah yang memutuskan unjuk suara saat mulutku tak bisa menemukan cara untuk berbicara.

Diam.

Hening.

Dan saling menghindari tatapan mata.

Pandanganku mengelana ke segala arah, mencoba mencari objek menyenangkan untuk dipandang agar kedua mataku tidak menjatuhkan perhatiannya padam. Sulit memang, tapi itu patut untuk dicoba ketimbang perasaan perih membuat hati semakin merintih.

Suasana kafe yang kita pilih menjadi saksi bisu kebersamaan kita untuk terakhir kalinya pun mendukung aura keheningan yang tercipta. Mungkin diam bisa menjadi sarana kita untuk saling berbagi rasa.

"Ra." Suaramu yang tiba-tiba memecah keheningan membuatku mengalihkan perhatian dari segelas ice latte yang masih penuh. Aku mendongak dan menatampmu dengan pandangan tanya, mengisyaratkan agar kau kembali berbicara.

"Ada apa?"

Aku mengeryitkan dahi mendengar pertanyaan aneh yang baru saja kau utarakan.

"Memangnya aku kenapa?"

"Kamu terlihat berbeda." Katamu dengan suara yang terdengar sedikit ragu.

"Beda gimana? Aku kurusan, yaa?" Tanyaku yang diakhiri dengan nada bercanda. Kamu tersenyum dan menggelengkan kepala, seakan pertanyaanku adalah kalimat aneh yang bisa membuatmu tertawa.

"Enggak, ya kamu aneh aja. Diem, enggak komentar apa-apa tentang keberangkatanku menuju Belanda."

Aku menghembuskan nafas berat sekali lagi.

Menimbang-nimbang untuk mengutarakan perasaanku yang sebenarnya. Apa hal itu tepat untuk dilakukan? Meningat fakta bahwa setelah hari ini intensitasku untuk bertemu dan berbagi pengalaman denganmu akan jauh berkurang ketimbang waktu-waktu sebelumnya.

Aku Kamu KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang