Awal Musim Dingin Abadi

44 15 6
                                    

Jinhae-gu, April 2019

"Ice Americano, lagi?" tanya barista wanita dengan rambut merah anggur di balik meja kasir. Ia menatap laki-laki  dihadapannya dengan takjub. Tidak, mungkin lebih dengan tatapan terkejut.

"Ya," jawab pria itu singkat menatapnya dingin sampai wanita itu bergidik pelan.

"Sejong-a, Ini adalah gelas ke-lima selama tiga jam. Bagaimana jika secangkir coklat panas?" wanita itu menawarkan minuman lain untuk Yang Sejong, pria dihadapannya.

Tapi fokus pria itu sudah beralih ke salah satu meja di sebelah kanan belakang meja kasir. Matanya memperhatikan dengan jeli seseorang disana.

"Hei! Yang Sejong!" sentak wanita itu sambil berbisik agar suaranya tidak menganggu pelanggan lain di kedai itu.

"Ice Americano. Kijoo-a, letakan itu di tempat tadi. Ini," ucapnya terburu-buru memberikan kartu pelanggan kemudian berjalan tenang menuju meja yang dari tadi ia perhatikan.

Dengan baju rajut berwarna putih gading, ia melangkah tegap sampai jarak meja itu dan tubuhnya hanya dua jengkal. Sepasang kekasih yang tengah bercengkrama terbelalak menatap Sejong.

Dari kejauhan, Kijoo dapat melihat wanita disana gugup dan bergetar. Ia menghembuskan napas berat perlahan.

"Sejong-a," ia berbisik khawatir lalu melangkah menuju meja Sejong untuk mengantar pesanannya. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.

Ia berbalik arah, dan menuju tempat pria itu berdiri. Kijoo melangkah dan terus melekatkan pria itu di pupil matanya. Saat sampai, ia tersenyum dan meletakan coklat panas di meja sebelah sepasang kekasih itu duduk.

"Yang Sejong-ssi, pesanan anda. Satu coklat panas. Selamat menikmati," sahut Kijoo sambil melirik Sejong. Ia melihat kekecewaan dan rasa marah di tatapannya. Sungguh, kalau bukan karena ini tempat kerjanya, ia akan menumpahkan coklat panas ke wanita itu dan menarik Sejong keluar lalu memberinya pelukan hangat.

Tapi semua tak akan terjadi. Ia hanya bisa menatap mata Sejong yang membeku menopang beban kekecewaan tanpa bisa menyalurkan kehangatan. Karena sorot mata itu, tidak datang untuk Kijoo.

Angin berhembus di pohon bunga sakura yang mulai bersemi. Pohon itu menyombongkan dirinya kepada Sejong bahwa ia menerima hangatnya matahari dengan sempurna.

Sejong menggertakkan giginya, dan menatap pria dihadapan wanita yang sedari tadi ia perhatikan.

"Pilihan yang tepat. Semoga memang ini yang pantas kalian dapatkan," ucap Sejong lalu berjalan keluar.

Kijoo tak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri. Setelah Sejong berhasil melewati tubuhnya yang mematung, ia melihat wanita itu berkaca-kaca dan hendak mengejar Sejong.

Kalau pria itu tidak melakukannya, aku yang akan menahannya. 

"Chagiya, aku selesaikan ini dulu." ia meminta izin pada kekasihnya, dan hal itu membuat Kijoo bergidik jijik.

"Cepat," jawabnya. 

"Pasangan gila," bisik Kijoo pelan, mengumpat pasangan itu.

Ketika wanita itu melangkah tepat didepannya, Kijoo menahan lengannya dengan sedikit cengkraman. "Jo Boah-ssi. Hentikan."

"Siapa kau berani-beraninya memegangiku?!" teriaknya yang diakhiri matanya yang melebar karena terkejut. "K..Kijoo Eonni?"

"Kau menjanjikan musim semi yang indah untuk Sejong. Tapi baru saja musim dinginnya makin abadi." ucap Kijoo penuh amarah. Siapapun bisa melihat rahangnya bergetar menahan emosinya.

"Akan ku jelaskan padanya. Aku, aku akan.."

"Cukup." potong Kijoo. "Kumohon," lanjut Kijoo melepaskan cengkraman dan matanya mulai mengkristal.

"Bahkan ia tidak bisa menangis untuk ini. Semua cintanya berakhir di awal musim semi. Semua! Dan kau dengan berani menyampaikan segala janji-janji manis bahwa kau akan membuatnya musim semi paling panjang seumur hidupnya?!"

"Kau ingat atau tidak, Jo Boah?! Apa kau tidak pernah mengingat janji yang kau buat?!" jerit Kijoo yang menyita perhatian seluruh pelanggan di kedai itu.

Emosinya, tidak berhasil ia kendalikan.

"Kau tau betapa sulitnya ia mencoba membuka hati setelah kematian Areum?! Dan kau! Kau, Jo Boah." ucapnya menunjuk wanita yang ia panggil Boah. 

Melihat Kijoo begitu menyeramkan, Boah tertunduk memainkan jarinya.

"Kau membuat bunga sakura yang bermekaran diluar sana, kembali meledek Sejong." Kijoo menyelesaikan kalimatnya susah payah karena gertakan rahangnya seakan hampir memotong lidahnya. Kijoo sangat kesal. Ia tak memperdulikan Bo-ah yang ketakutan, apalagi seisi kedai yang masih memperhatikannya.

Bagaimana Sejong berharap pada Boah dan tatapan yang baru saja ia lihat dari sorot mata Sejong, membuatnya semakin kesal. Ia melepas celemek dengan kasar dan berjalan menuju ruang loker. Tak disangka seperempat jam terakhir kerjanya akan begitu melelahkan.

Kijoo mengeluarkan tas dari loker kemudian memeriksa ponselnya.

"Yang benar saja," Kijoo menertawai dirinya. "Mana mungkin dia memintaku datang untuk menenangkannya?"

Wanita itu menghembuskan napas berat, kemudian tersenyum.

167-10 Jangcheon-dong. Seperti biasa, kau berhutang segelas coklat panas.
Aku akan tiba dalam 20 menit.

"Sudah waktunya ia merasakan kehangatan musim semi. Mari kita lakukan," tuturnya lalu pergi menuju halte bis.

***

The Eternal Spring | Yang Se-jong [One Shot] [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang