prologue : swallowed in the sea

1.3K 148 222
                                    

— THE TRUTH RUNS WILD LIKE THE RAIN TO THE SEA —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

THE TRUTH RUNS WILD
LIKE THE RAIN TO THE SEA

•••

          ᴍᴜꜱɪᴍ ᴘᴀɴᴀꜱ baru saja bermula, hangatnya mentari yang mencapai ubun-ubun semerta-merta buat pemuda berumur empat belas tahun tersebut menepi dari lapangan yang dipenuhi rerumputan hijau. Peluh mengalir deras, basahi kaos oblong tanpa lengan yang melekat di tubuh kecilnya. Dia Kim Taehyung, adik lelaki dari Kim Seokjin. Surainya legam, sedikit ikal apabila dibiarkan panjang seperti bulan lalu, memiliki netra bulat dengan tulang hidung yang tinggi. Singkatnya, si bungsu Kim itu tanpa cela; nyaris sempurna.

Akan tetapi di sana, Taehyung menghela napas pendek tatkala mendapati sebuah panggilan telepon dari kakak tercinta. Katanya, "Tae, cepat pulang. Hari sudah senja. Kita 'kan ingin pergi ke festival bersama-sama."

Lantas, menyahut sekenanya dengan kaki kecil yang melangkah menjauh dari area lapangan, meninggalkan teman badungnya bernama Jimin, Taehyung menyahut. "Iya, Kak. Bawel sekali sih. Aku sudah di jalan menuju rumah." Bibirnya mencebik, kesal karena sempat melihat bagaimana sang kawan mengejeknya dengan sebutan 'anak manja'. Sepersekian detik setelahnya Taehyung berhenti, teringat akan sesuatu yang mana langsung membuatnya kembali bersuara, "Kak, pulang nanti tolong belikan aku jelly dan permen, ya. Tapi, jangan sampai ketahuan Mama, bisa-bisa aku kena siraman rohani lagi."

"Uangnya?"

Taehyung mendecak sebal. Dasar mata duitan, pikirnya. "Pakai uang Kakak saja dulu, nanti aku ganti jadi dua kali lipat deh."

Di seberang sana Seokjin tertawa kecil, buru-buru mematikan sambungan telepon agar tugas proyek musim panas miliknya cepat selesai, menyisakan Taehyung yang mengembuskan napas keras-keras sebelum akhirnya beranjak dari sana, menuju rumah bergaya minimalis yang terletak di dekat taman.

Suasana rumah sangat sepi, pun pengap di saat bersamaan. Taehyung lekas mengganti sepatu bola miliknya menjadi sepasang sandal yang nyaman, berjalan menuju kamar mandi dan mengguyur air dingin ke seluruh tubuh. Aroma lemon samar-samar tercium kala ia keluar dengan handuk yang melilit pinggang kecilnya. Sebelum menuju kamar di lantai atas, Taehyung menyempatkan diri untuk ke kamar sang kakak, sekadar mencuri uang logam yang biasanya diletakkan secara sembarang di atas nakas.

"Hari yang sangat beruntung," gumamnya senang sembari mengambil sepuluh keping uang logam bernilai lima ratus won. "Kira-kira setahun lagi aku bisa kaya, tidak, ya?" Pikirannya mengawang, membayangkan bahwa dirinya bisa membeli sebuah sepeda dari hasil uang curian. Taehyung terkikik geli, nyaris keluar dari kamar bernuansa kelabu tersebut sebelum menemukan sesuatu yang ganjil tersemat di laci nakas.

Kening Taehyung mengernyit dalam, menerka-nerka hal macam apakah yang Seokjin sembunyikan. Melirik ke belakang guna memastikan sang kakak masih belum terlihat batang hidungnya, Taehyung memutuskan untuk menjatuhkan bokong di bibir ranjang, mengambil kertas yang ternyata berisikan potret seseorang yang amat dikenalnya.

Mulanya Taehyung biasa saja, tetapi saat melihat sepotong kalimat yang tertoreh di bagian belakang, ia mendadak merasakan tubuhnya mati rasa; kaku, stagnan. Ah, ini tidak boleh terjadi.

Setengah tidak percaya dengan realita yang menampar belah pipinya keras-keras, Taehyung membuka nakas tersebut dan mengorek isinya, tak memedulikan barang-barang yang berserak sebab ia kepalang dilanda penasaran. Dari ketiga laci yang ada, satu diantaranya terkunci. Taehyung semakin menaruh rasa curiga, pun dia mengambil palu di gudang dan mulai menghancurkan benda berbahan kayu jati itu.

Sial. Kim Seokjin menyukai seseorang.

Dengan pening yang menghantam kepalanya hebat, Taehyung meremas foto tersebut hingga membentuk gumpalan acak. Daksanya bergerak menjauh, melangkah tertatih di atas dinginnya marmer putih dan nyaris jatuh berguling dari anak tangga teratas. Tanpa sadar, sudut matanya berair. Sebenarnya apa yang Kim Seokjin inginkan? Menghancurkan dunianya dan merenggut kebahagiaan yang ada? Huh, sulit dipercaya.

Sudah satu jam lamanya Taehyung mengurung diri di dalam kamar, memeluk lutut seerat mungkin sembari memaku pandang pada bingkai jendela yang tirainya dibiarkan tersingkap. Bias cahaya oranye hampir hilang dan tergantikan oleh gelapnya malam. Taehyung cuai akan perutnya yang sedari tadi berkeriuk menahan lapar. Pikirannya hanya terpusat pada satu hal; Kim Seokjin.

Derit dari engsel pintu yang sudah berkarat tercipta manakala si sulung Kim mendorongnya pelan. Tampaknya dia agak sedikit terkejut, terlihat jelas dari irisnya yang sempat melebar beberapa detik. Seokjin melirik sang adik yang termenung di atas ranjang, menatap kosong dengan tubuh yang gemetar. Titik air jatuh mencumbu lantai kayu, begitu pula aroma maskulin yang merasuk penghidu. "Belum bersiap-siap, ya? Bukankah sebentar lagi kita akan pergi ke festival?"

Taehyung masih setia bergeming, tak bergerak barang seinci pun dari posisinya. Hal tersebut semerta-merta membuat Seokjin meloloskan satu hela napas panjang. Pasti ada sesuatu yang terjadi, pikirnya. Menutup pintu rapat dan mengayun tungkai menuju tepi ranjang, ia berkata, "Bertengkar dengan Jimin lagi, ya?" Kekeh kecil mengudara, bermaksud meruntuhkan kecanggungan yang ada. "Sudahlah, Tae. Jangan terlalu dipikirkan. Jimin itu memang terkenal badung. Kau-nya saja yang terus memaksa untuk tetap berteman dengannya."

Jemari Seokjin terulur, hendak mengusap pucuk kepala sang adik dengan penuh kasih sayang. Tetapi sebelum itu, Taehyung lebih dulu menepis, menghindar sebisa mungkin dengan sorot tajam yang membingkai manik jelaganya apik. "Jangan menyentuhku seujung kuku pun!" Beriringan dengan kalimat tersebut, Taehyung menendang dada Seokjin hingga si empu terpental dan membentur lemari pakaian.

Mengaduh pelan dengan satu tangan yang memegang kepala bagian belakangnya, Seokjin bangkit kepayahan. Ia sama sekali tidak mengindahkan ultimatum dari Taehyung, lekas menempatkan bokongnya kembali lalu bertanya dengan alis yang bertaut; sukses buat lipatan di kening sebanyak tiga kali. "Apa aku melakukan sebuah kesalahan? Katakan padaku, Tae. Dengan begitu aku bisa memerbaikinya sebelum terlambat."

Taehyung terisak dalam tangis yang pilu, menahan sesak yang terasa mencabik organ tubuhnya. "Tidak ada lagi yang perlu diperbaiki." Desibelnya lirih; seperti bisikan, nyaris tak terdengar jika Seokjin tidak menajamkan pendengaran. "Kau menghancurkan semuanya, Kak. Hidupku, reputasiku, bahkan jiwaku." Manik mereka bersua, mengirim tanya dalam benak masing-masing. Rahang Taehyung mengeras, kembali menyentak jemari Seokjin yang hendak mendarat di lengannya. "Kau monster yang mengerikan, Seokjin!"

Si pemilik nama tersentak. Ada sesuatu yang salah, pasti. Taehyung tidak pernah semurka ini sebelumnya. Seokjin meneguk saliva yang bersarang di kerongkongan kemudian mengulas satu senyum hambar. "Kau sakit? Bicaramu melantur, Tae. Biarkan aku mengecek suhu tubuhmu dulu, ya." Tanpa persetujuan si empu, punggung tangan Seokjin bertengger di kening Taehyung. Sedikit hangat. "Lihat, kau demam. Tunggu sebentar, ya. Aku akan mengambil air untuk mengompresmu."

Baru dua langkah yang Seokjin ambil, suara si bungsu kembali menggelitik rungu, "Hentikan sandiwara konyol ini, Kak. Semuanya sudah jelas, kau tidak perlu menutup-nutupi keadaan." Taehyung mengusap kristal bening yang menganak sungai di belah pipinya, menyedot lendir yang memenuhi hidung, lalu berkata penuh penekanan di tiap alfabet yang tersusun. "Aku sudah mengetahuinya."

"A-apa?"

Napas Seokjin tercekat, ia menoleh ke belakang dan temukan mimik wajah Taehyung tengah tersenyum miris kepadanya. For God's sake. Dia tidak sedang membicarakan hal itu, 'kan?

Jemari Taehyung menyelinap ke bawah bantal, menarik beberapa lembar potret lusuh untuk dibawa ke hadapan. Seketika Seokjin membatu, tak bisa berucap barang sepatah kata tatkala tawa hambar mencuat nyaring. Senja menjelang malam itu porak-poranda, lenyap tak bersisa usai Taehyung melontarkan satu kalimat telak dari ceruk bibirnya, "Kau gay, itu tak masalah bagiku. Tapi, kenapa harus denganku?" []

A Home Without WallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang