Sudut Pandang

6 0 0
                                    

"Segala dipersulit, tinggal acc apa susahnya"

Bisik seseorang yang sedang berdiri di belakangku. Saat ini aku sedang berada di dalam ruangan kepala jurusan yang kebetulan adalah dosen pembimbing skripsiku. Di dalam ruangan yang tidak begitu luas ini aku sedang menunggu antrian untuk melakukan bimbingan jurnal sebagai syarat untuk mendapatkan transkrip nilai akhir.

"Entah apa yang diinginkan Professor ini, gue udah revisi berkali-kali tetap aja nggak ada yang benar dimatanya"

Aku tersenyum kecil.
Lucu. Hampir empat tahun tahun kami berada di dalam satu naungan jurusan yang sama, aku tidak pernah berbicara sekalipun dengannya. Boro-boro saling berbicara, saling melemparkan senyuman saja kami tidak pernah. Dini, gadis yang berdiri di belakangku ini adalah mahasiswa tingkat akhir yang cukup terkenal karena keaktifannya sebagai anggota himpunan mahasiswa di jurusan Pendidikan Kimia. Selain itu, parasnya yang cantik juga menjadi salah satu penyebab ia sering dibicarakan oleh teman-temanku.
Dini ini jelas berbanding terbalik denganku yang merupakan bagian dari mahasiswi kupu-kupu (kuliah pulang - kuliah pulang).

"Gue nggak ada masalah sih. Selama ini yang beliau revisi memang bagian-bagian yang perlu diperbaiki" Jawabku sambil tersenyum singkat.
Ia terdiam beberapa saat....

"Lo Naila, yang kemaren cumlaude itu kan?"

"Naima"

sumacumlaude

"...pantes" gumamnya

Kita terlalu sering membaca atau mendengar keluhan mahasiswa tentang dosen pembimbing yang mempersulit tugas akhir mereka. Kemudian menempatkan dosen sebagai tersangka penyebab tugas akhir mereka tidak selesai tepat waktu. Mungkin ada beberapa dosen yang demikian, namun aku belum pernah bertemu langsung dengan dosen yang berkarakter seperti itu.
Pria paruh baya yang sedang duduk sembari memeriksa hasil kerja mahasiswanya ini pun tidak dapat dikategorikan sebagai dosen yang sengaja memperlambat kelulusan mahasiswanya. Sebenarnya bukan kali ini saja aku mendengar mahasiswa mengeluhkan banyaknya tulisan mereka yang direvisi beliau, karena itu aku merasa harus menyampaikan bahwa yang sering mereka keluhkan itu adalah kesalahan mereka sendiri.

"Metode penilitian, catatan kaki hingga tulisan kamu saja masih banyak yang berantakan, maka jangan tanya kapan saya bisa acc"

See?

"Mohon maaf Prof... dan terimakasih bimbingannya" tutup mahasiswa yang baru saja melakukan bimbingan dengan Professor Arif.

Senyumanku mengembang saat menyadari bahwa sebentar lagi adalah giliranku untuk melakukan bimbingan. Sayangnya senyuman yang cukup indah ini tidak berlangsung lama karena tiba-tiba saja seseorang yang entah dari mana datangnya menghalangi langkahku dan berkata "keluar sebentar" dengan raut mukanya yang datar.

Nggak ada akhlak. Batinku.

Mahesa. Pria dengan tampilan amburadul ini lagi-lagi menatap ke arahku untuk memberi peringatan, pasalnya semua mahasiswa yang tadinya ikut mengantre di belakangku langsung keluar tanpa harus mendengarkan pitahnya untuk ke dua kali.

"lo nggak ngerti bahasa Indonesia? Budek?"

Sabar Naima. Orang waras ngalah.
Aku menghela nafas dengan kesal kemudian menatap ke arah Professor Arif, terlihat jelas rahangnya mengeras karena menahan malu.

"Permisi" ucapku pada Professor Arif.

Di luar ruangan para mahasiswa yang tadinya ikut menunggu denganku kini sedang berdiri sambil mencuri-curi pandang ke ruangan yang dibatasi kaca bewarna gelap itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sudut PandangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang