Musim dingin 5 tahun lalu adalah titik tolak kehidupanku. Entah itu sebuah kebodohan atau kesialan, karena ketika itu, aku hanyalah remaja dungu yang tidak tahu bagaimana kehidupan akan menjadi semakin keras setelah kejadian naas itu kulalui.
Namanya Haneul—yang berarti langit. Aku selalu beranggapan bahwa ia memang cocok memiliki nama itu karena keceriaannya bagaikan langit biru yang selalu aku pandang ketika aku merasakan sesak akan hidupku. Selain periang, ia juga seorang gadis yang unik. Ketika kebanyakan teman sekelas menjauhiku karena aku hanyalah remaja kumal yang tidak pernah mengganti pakaian untuk pergi sekolah, Haneul dengan ringannya duduk di sampingku di dalam bus sepanjang perjalanan berangkat dan pulang. Bahkan, ia menawarkan untuk mendengarkan lagu kesukaannya dari earphone miliknya. Ia lugu dan begitu tulus.
Aku berpikir bahwa kehidupanku yang nekat meninggalkan rumah kedua orangtua angkatku akibat selalu dipukuli kemudian menggembel di dunia luas, bukanlah sebuah keputusan yang buruk. Masih ada Haneul—ya, setidaknya masih ada gadis itu yang dengan murah hatinya membiarkanku tinggal di gudang rumah ayahnya, memberiku makan dan minum juga selimut yang hangat. Kendati, aku bersyukur keeseokan paginya tidak ditemukan berita dengan judul besar-besar: Seorang Remaja Laki-laki Miskin Tewas Karena Terserang Hipotermia Akut Sepanjang Malam di Sebuah Gudang Rumah kala itu, aku juga bersyukur bahwa ayah Haneul yang konservatif tidak pernah menyadari keberadaanku di gudang rumah mereka. Well, katakan aku memang seperti parasit dan aku pastikan beliau tidak akan sekadar mengusirku jika mengetahui anak gadis semata wayangnya seolah merawat gelandangan dengan begitu tanpa pamrihnya.
Sisi baik yang tersisa dari kehidupanku adalah aku tidak akan diusir dan dipukuli di sekolah. Dan aku tidak perlu bingung memikirkan uang sekolah untuk beberapa bulan ke depan karena orang tua angkatku sepertinya lupa bahwa mereka telah membayarkannya lunas awal tahun lalu. Satu yang tidak mereka lupa tentunya adalah memamerkan kekayaan namun tidak perlu repot mencariku karena terlalu sibuk bertengkar dan siap melampiaskan amarah serta rasa frustasi kepada apapun dan siapapun itu. Aku penasaran, setelah kepergianku, mereka akan melampiaskan kebencian mereka satu sama lain kepada siapa, ya? Konyol!
Lalu, sisi baik lainnya ada pada pertemananku dengan Haneul yang berlangsung setidaknya hampir 2 tahun saat itu dan ia kerap membantuku dalam banyak hal. Tentu saja ia juga membantuku untuk memiliki pakaian layak agar teman-teman tidak mengolokku dengan sebutan Si Miskin Bau. Haneul mendapatkan banyak pakaian yang masih layak pakai ketika ia meminta bantuan guru-guru di sekolah kami. Terkadang ia juga mau repot mencucikan baju-bajuku yang membuatku benar-benar terenyuh. Aku mulai berpikir lagi alangkah baiknya jika kelak ketika dewasa, aku dan dia bisa bersama. Tentunya sebelum itu aku harus sukses. Benar-benar sukses. Secara harfiah.
Rupanya pemikiran itu pun bercokol di dalam kepalanya. Pemikiran untuk terus melanjutkan hidup bersamaku. Aku merasa menyesal karena sebagai seorang laki-laki, kenapa justru ia—seorang perempuan—lah yang lebih dulu mengutarakan pendapat itu di hadapanku? Kami sadar bahwa kami memiliki ketertarikan fisik dan perasaan satu sama lain layaknya dua kutub magnet yang tarik-menarik. Kami sadar bahwa hati kami telah saling tertawan jauh sebelum duniaku jungkir-balik dengan gelar: Gelandangan Sialan.
Kendati kupikir semua hal antara hidupku dan perjalanan asmaraku dengan Haneul telah berjalan sesuai pada lintasannya, menjelang kelulusan sekolah menengah, Tuhan rupanya membalikkan telapak tangan. Dengan perasaan tidak berdaya dan tangan gemetar, aku menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan Haneul di atas nakas kamar tidurnya. Surat itu adalah surat perpisahan paling menyakitkan dan aku benar-benar merasa seolah jantungku dicabut dari dalam dada dengan paksa ketika membaca kata demi kata yang Haneul tuliskan.
Taehyung Sayang...
Maafkan aku. Aku tidak bisa menceritakan bagaimana di dalam diriku begitu rusak setiap kali aku memandang wajahmu. Bersamamu, aku selalu ingin menjadi sosok yang sanggup melindungi, memberikan kasih yang tidak pernah kau dapat dari kedua orangtua angkatmu. Kau pasti kecewa melihat keputusanku yang terburu-buru ini. Kendati aku telah berusaha bertahan, nyatanya aku sangatlah rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless (✓)
FanfictionTaehyung baru mengenal kehidupan yang bahagia setelah pertemuannya dengan Haneul. Gadis itu menjadi alasannya untuk memperbaiki diri agar mampu hidup bersama kelak. Namun roda takdir telah lebih dulu merenggut senyuman ceria dari wajah gadis itu. Da...