Chapter 1 : Apakah Aku Mampu?

1K 186 555
                                    




Lagi-lagi ilalang kering itu menari diterpa angin sore. Kuning telur keemasan selalu menemani ku melamunkan keinginan yang sepertinya mustahil untuk aku capai. Cahaya dari kuning telur, angin lembut, serta langit yang perlahan berubah menjadi jingga adalah perpaduan yang pas untuk mengakhiri hari yang berat, selalu berat.

"Apakah aku bisa? Apakah aku mampu? Hah.. itu tidak mungkin!" Aku selalu berbicara pada diri sendiri, atau, barangkali rerumputan juga dengar.

Aku adalah seorang perempuan menuju dewasa yang sebenarnya ceria, ya, aku selalu ceria dan sebisa mungkin menyebarkan energi positif kepada orang di sekitarku. Tetapi aku juga orang yang putus asa ketika sedang sendiri. Umurku tepat 23 tahun pada hari ini, sial, bahkan tak ada hal yang menakjubkan di hari "bahagia" ini. Layar ponselku bergetar dan menampilkan notifikasi pesan dari sahabatku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, tetapi sekali lagi aku termenung karena gambar latar di ponselku. Seoul dengan lampu kota yang saling berdesakan.

"Ya, aku tak akan bisa ke sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ya, aku tak akan bisa ke sana." Akhirnya aku pergi karena rasi bintang sudah mulai tebentuk.

🌙

Sial! Suara alarm yang berisik setiap pagi selalu membangunkanku. Aku masih bingung apakah aku harus bersyukur atau tidak karena masih bisa bangun dan hidup.

"Rutinitas membosankan segera dimulai lagi. Hai, Tutu, apa tidurmu nyenyak malam tadi?" Aku berusaha menyapa pohon kaktus kecil yang ku letakkan di jendela kamar.

Aku masih bermalas-malasan di atas kasur dan jantungku mulai berhenti ketika aku membaca e-mail yang masuk pada jam 22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku masih bermalas-malasan di atas kasur dan jantungku mulai berhenti ketika aku membaca e-mail yang masuk pada jam 22.00 tadi malam.

"Selamat malam. Saudari Park Ha Neul. Permohonan beasiswa Anda telah diterima. Klik tautan berikut ini untuk mengetahui tindak lanjut dan informasi lengkap."

Apa ini mimpi? Apakah aku sudah di surga? Seketika aku langsung mencari ibuku yang sedang sibuk di dapur.

"Aaaah Ibuuu! Akhirnya aku lolos! Aku lolooooos..!!" Aku berteriak sambil berlari menghampiri ibuku.

"Aduh, ada apa, Han? Kau heboh sekali mengalahkan gonggongan anjing milik tetangga. Hahaha."

"Ah, Ibu, terserah mau dibilang apa. Tetapi aku sangat senang karena.. aku lolos beasiswa! Akhirnya.. ya Tuhan, ya Dewa, ya Leluhur, terima kasih!" Aku terlalu bahagia sehingga aku sujud berkali-kali. Tetapi pemandangan itu malah terlihat lucu bagi ibuku.

"Tidak biasanya kau sujud dan bersyukur seperti itu, Han. Menggemaskan sekali anakku ini. Makanlah roti isi dan kita bicarakan hal itu." Ibuku menata sarapan dan aku yang masih terlalu senang akhirnya duduk dan mulai mengobrol.

Aku membaca lagi e-mail pemberitahuan itu dan informasi lebih lanjutnya. Setelah berbulan-bulan puluhan lamaran beasiswa ku tidak diterima oleh pihak manapun, akhirnya perusahaan asal Korea Selatan ini menerima lamaran beasiswaku. Nantinya, perusahaan itu akan membiayai seluruh tagihan akademik, tempat tinggal, dan biaya hidup. Tentu saja aku tak bisa menolak tawaran itu.

"Ibu, Senin depan aku akan melakukan wawancara untuk beasiswa ini. Aku juga akan memilih kampus dan jurusan. Apakah aku boleh memilih sesuai keinginaku, Bu?" Aku bertanya sambil mengunyah roti isi yang lezat.

"Tentu saja. Pilihlah jurusan sesuai minat mu. Ibu hanya bisa mendoakan semoga semua lancar dan baik-baik saja."

"Terima kasih! Aku sayang sekali sama Ibuku tercinta! Hihi."

"Hmm.. ngomong-ngomong kau akan kuliah di mana?"

"Ah, perusahaan ini bekerja sama dengan beberapa kampus di Korea Selatan. Jadi aku harus berkuliah di sana."

"Korea Selatan? Kau yakin akan hidup di sana? Meninggalkan ibu sendiri? Kau tahu, kan, hidup di sana cukup sulit? Apa kau bisa bertahan?" Ibuku khawatir sehingga dia berhenti memotong sayuran.

"Tenang saja, Bu. Aku akan bertahan. Lagian aku sudah terlatih hidup susah selama 23 tahun ini! Hahaha." Aku menjawab setengah bercanda.

"Baiklah"

Ah, ibu, aku tahu dia akan khawatir. Korea Selatan adalah negara yang menyumbang banyak luka baginya. Setiap sudut kota bahkan udaranya saja sudah menyakitkan hati milik ibu. Tetapi bagiku, Seoul adalah bunga abadi yang hidup di angan dan tinggal di alam bawah sadar.

🌙

Moon Child [Ryujin, MYG, KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang