Morning in Jakarta

20 0 0
                                    

Hembusan angin di sore hari telah menandakan tibanya waktu petang. Sebelum pakaian yang tergantung ikut terbawa dan terbang entah kemana, membuat wanita dewasa dari balik pintu kayu terburu – buru menutupi rambut seadanya dan berlari untuk mengumpulkan jemuran ke keranjang pakaian.

"Mamaa~"

"Azimah?"

"Lihat maa! Aku sekarang punya banyak kelereng." Gadis kecil berusia 6 tahun dengan rambut hitam lebat yang di –kepang. Berlari riang sambil menunjukkan sekantong biji kelereng kepada Sari.

"Katakan sama mama, kenapa kamu pulang sendiri?!"

"Mama lihat dulu ini kelereng jagoan aku, baguskan? Makanya tadi it--"

"Azimah!!"

Tok tok

Bersamaan dengan ketukan pintu, seseorang di dalam sana jadi terbangun. Mata cokelatnya menatap gamang langit – langit kamar.

Clek~

"Aku sudah bangun." Masih dalam keadaan berbaring.

"Sarapan hari ini sedikit berbeda. Mas mau kamu turun dalam 5 menit."

Lelaki tinggi di ambang pintu tadi bernama Allan Sedo Sunjaya, orang terdekat memanggilnya Edo. Hari ini adalah pagi pertama bagi mereka – Edo dan Eshal menempati rumah baru.

Eshal menguncir rambut panjangnya dengan asal. Lalu segera masuk kesatu bilik yang berada di sudut ruangan. Mengawali rutinitas pagi layaknya manusia normal lakukan – menggosok gigi dan mencuci muka.

Di sela – sela langkah kaki menuju ruang makan, ia sempat memikirkan ucapan Edo barusan. Pasalnya tidak pernah di hari weekend seperti ini Edo menyuruhnya turun ke bawah untuk sarapan.

Semakin dekat arah dapur, telinga Eshal tidak sengaja menangkap suara orang – orang asing tepat di depan sana – meja makan.

"Kenapa harus banyak orang se-pagi ini?" Eshal mematung beberapa detik sebelum sosok lelaki berkulit putih dari arah belakang mendahului tubuh mungil Eshal yang berdiri kaku.

Mereka yang di sana menoleh ketika lelaki itu menarik kursi untuk duduk.

"Hi dude!" Edo dan lelaki itu ber-Highfive ria.

Tidak ingin berdiri lebih lama, maka ia memberanikan diri berada di kerumunan tersebut. Senyum hangat Edo yang pertama menyambut namun sebaliknya, Eshal memberikan tatapan tajam.

Yap. Edo berhasil membuat pagi Eshal menjadi lebih buruk bersama paket komplit sebuah keluarga yang tidak dikenalnya sama sekali.

Sadar atau tidak yang pasti Eshal saat ini tidak sedang menggunakan pakaian terbaiknya, rambut panjang yang tergerai kusut, wajah kecilnya masih meninggalkan bekas tapak ketika tidur. Sungguh penampilan terburuk!

Lain halnya dengan perempuan yang Eshal tebak seumuran dengannya itu, dia terlihat anggun karena di kepalanya terbalut hijab panjang, sampai terbesit dipikiran Eshal untuk menggunting bagian bawah kain agar berguna untuk menutupi wajah amburadul nya pagi ini.

"Masya Allah... ini beneran Eshal ya Do?"

"Cantik sekali~"

Berhubung posisi ibu paruh baya tersebut berada di samping kanan Eshal, maka secara reflex tangannya mengusap lembut kepala Eshal dan yah ia rasa itu sedikit membantu merapihkan tatanan rambut panjang yang tak sempat di sisir.

"Abi sangat senang waktu dengar katanya Eshal mau pindah di samping rumah abi." Kini pria paruh baya di depannya yang angkat bicara. Menatap Eshal lembut dan senyum tulus terlihat jelas dari mata yang menyipit.

Hening.

Bukannya tidak memiliki sopan santun, Eshal hanya tidak ingin berkata apapun di saat tidak ada yang harus ia ucapkan untuk pertemuan ini. Setidaknya senyum kecil tercetak beberapa detik di wajah Eshal.

"Gini – gini, mas lupa bilang semalam, jadi mas mau kenalin kamu ke satu sahabat terbaik papa dan beliau inilah yang dimaksud , ini namanya Abi Bahrun Sobari dan istrinya yang cantik, chef nomor satu di komplek ini, yaitu Bunda Fara Sobari."

"Kamu ini do, berlebihan kalau ngomong." Jadi sekarang Fara tersipu malu, membuat suasana kembali normal.

"Nah kalau ini, namanya Kabsya Litta Sobari. Putri bungsu Abi Bahrun, nanti kamu akan banyak ketemu dan bisa kenal lebih jauh."

Dalam diam Eshal merekam semua perhatian yang dibuat oleh Litta dari mulai ia melambaikan tangan, tersenyum dan tertawa pelan.

"Welcome to Jakarta sister! Aku harap kamu nyaman tinggal disini."

"Hm, terimakasih."

"And the last, ada Rafshan Arrehan Sobari. Putra kebanggaan Abi Bahrun."

"Ya Allah bang, untuk sekarang belum pantes. mungkin 5 atau 10 tahun lagi."

Kalau di lihat dengan seksama, Are ini seperti orang baru ditemukan akibat tersesat berbulan – bulan di hutan belantara. Rambut panjang sampai telinga, belum lagi ada bewok tipis mulai dari jambang sampai ke dagu. Style anak muda di Jakarta sedikit membuatnya shock.

"Loh, emangnya aku salah ya bi?" Dasar Edo, pandai soal urusan bersilat lidah.

"Are, Litta, Edo dan Eshal. Kalian semua anak kebanggaan Abi, karena bagi abi keberhasilan membesarkan anak adalah ketika kalian bisa menghargai diri sendiri dan tentunya orang lain."

"Jadi ayo! Mulai sekarang kita semua hidup berdampingan. Edo dan Eshal seperti anak Abi begitu juga bagi bunda Fara. Kalian berempat bersaudara sekarang. Jangan sungkan untuk berbagi suka dan duka sama Abi."

"Terimakasih Bi, sudah bersedia melengkapi kami."

Acara sarapan tersebut berlangsung cukup hangat. Semua orang menikmati menu yang dihidangkan oleh Edo. Hanya saja Eshal tak banyak bicara, pikirannya terlalu sibuk dengan sosok 'Azimah' kalau Eshal tidak salah ingat.

Setahun belakangan ini, Eshal tidak percaya dengan dirinya sendiri. terkadang apa yang ia lakukan menimbulkan perasaan yang amat sedih. Eshal dibuat kesal tapi juga bingung.

Dan sekarang kebingungan Eshal bertambah berkali – kali lipat. Demi Tuhan! Edo tidak sedang merekrut dirinya ke dalam sebuah drama keluarga bukan?

WHITE NILE #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang