Eshal Fedora Sunjaya.
Gadis berusia 19 tahun yang kerap menghabiskan cat kanvas berkaleng – kaleng. Edo sampai harus menyiapkan studio di dalam rumah semata – mata untuk menampung hasil karya adiknya.
Well, itu semua sebagai bentuk kasih sayang seorang kakak, karena tanpa harus berbohong Edo sudah dibuat takjub dengan apa yang dilakukan Eshal berjam – jam hingga berbagai macam warna cat yang selalu menempel pada baju serta wajah kecilnya.
Bugh
"Hey! Hati – hati kalau jalan."
Hari kedua di Jakarta, Eshal disibukkan dengan puluhan lukisannya sendiri yang baru saja tiba dari Surabaya – rumah lama.
"Matamu itu pasang di mana?" Eshal yang tengah susah memindahkan kanvas besar dari mobil box ke lantai atas, tanpa sengaja menabrak tubuh Are yang kebetulan sedang lewat depan rumahnya.
"Mata gue? Ketinggalan di bantal". Mendengar lelucon Are, membuat Eshal menggeleng kepala.
"Minggir! Nggak liat apa orang lagi ngapain". Lekaki tersebut terkekeh ketika Eshal mengusirnya.
"Tunggu, sebentar". Are mundur perlahan untuk dapat melihat jelas lukisan yang menghadap ke arahnya itu.
"Ini Ayers Rock kan?" Are mendekat kemudian jongkok dan perlahan menyentuh permukaan kanvas
"Batu penghubung ke alam roh". Jawab Eshal sambil memperhatikan kegiatan yang dilakukan Are.
"Ya youre right. And this painting makes it so real!" Are sangat terkesan dengan hasil karya Eshal yang ketika itu di buat dua minggu setelah kematian Daud Mata Sunjaya – papa Eshal.
"Berapa digit lo bayarin ini lukisan?" masih dengan posisi sebelumnya dengan tangan kanan bertumpu pada paha, Are mengadah ke atas dan menatap Eshal yang terdiam.
Pandangan mereka saling bertemu. Are melihat wajah Eshal yang menerima pantulan cahaya matahari pagi dan menyinari sebagian wajah cantiknya. Sedangkan Eshal tenggelam dalam ingatannya saat masih bersama Daud.
"Maaf mbak, lukisan dan peralatan yang lain sudah selesai saya pindahkan. Kalau boleh yang ini juga biar sama saya aja mbak". Keduanya baru tersadar jika bukan ada intruksi dari sopir yang mengangkut barang - barang tersebut.
"Ga perlu pak. Biar sama saya". Are dengan cepat berdiri lalu mengambil alih papan kanvas di tangan Eshal. Tindakan mendadak tersebut tidak bisa di cegah, karena lelaki itu sudah melenggang masuk melewati pagar dan pintu rumah.
Baru saja Eshal berniat mengejar Are. "Kalau gitu tugas saya sudah beres, saya pamit dulu ya mbak salam untuk pak Allan".
"Pak tunggu, ini saya punya sesuatu buat bapak, terimakasih sudah mengantarkan barang saya dengan baik". Eshal merogoh amplop putih dari kantong lalu menyodorkan kepada bapak tersebut.
"Maaf, tidak perlu mbak. Sebelumnya pak Allan sudah memberi lebih dari cukup". Dengan sopan bapak itu menolak.
"Ambil saja pak, ini namanya rezeki yang nggak boleh ditolak". Eshal berusaha meyakinkan karena bagaimanapun juga niat awal memang ingin memberi sebagai tanda terimakasih.
"Baik mbak, kalau begitu. Terimakasih banyak".
Setelah kepergian bapak supir, Eshal kembali mengingat kenapa tadi ia sangat ingin berlari ke dalam rumah, tentu saja jika bukan menyusul Are.
Sedangkan sedari tadi Are sangat puas memandang puluhan lukisan dan unik nya ia hanya menemukan lukisan seorang bocah perempuan untuk gambar manusia, itupun sangat absurd. Sisanya berupa tempat, makanan dan hewan, seperti air tejun, Bunga, koala dll.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHITE NILE #1
RomanceDi hari kematian sang Ayah sekaligus menjadi awal kehidupan seorang gadis muda layaknya kertas putih. Sangat bersih sampai tidak terlihat ada kesedihan dalam memorinya beberapa jam yang lalu . Sebelum tubuh gadis 13 tahun itu terpental akibat tabra...