Dia berjalan perlahan seperti Hyena yang mengunci mangsanya. Tangannya dengan perlahan membuka resleting celana yang dia pakai sedangkan bagian atasnya sudah tak berbusana lagi.
aku meneguk ludah melihat makhluk tuhan yang begitu sempurna di depanku. perutnya yang terbentuk seperti roti sobek entah dengan varian rasa apa. Rahangnya yang tegas dan ditumbuhi bulu-bulu halus yang -pernah aku rasakan- dapat membuat wanita manapun mengerang nikmat saaat ia menggesekkan rahangnya ke bagian tubuh manapun seorang wanita. Bibirnya yang berwarna merah muda kecoklatan, hidungnya yang mancung tanpa ada bulu hidungnya yang keluar, matanya yang setajam elang terus memerangkapku kedalam kegelapan yang menenggelamkan. tapi sering kudengar banyak wanita yang mengatakan bahwa tatapannya saja sudah membuat seorang wanita orgasme, apakah mungkin hal seperti itu terjadi?
Sesaat dia telah sampai di depanku yang sedang duduk dipinggir ranjang berwarna putih dan pastinya sangat empuk. Resleting celananya sudah turun dan dapat kulihat bulu bulu halus yang mengitari pusatnya. pandanganku masih terfokus ke bulu-bulu halus yang akan berakhir ke tempat dimana alat yang mampu membuat semua wanita menjerit.
Kurasakan jari telunjuk yang kokoh mengangkat daguku. Saat aku mendongakkan wajahku dan kualihkan mataku untuk bertatapan langsung dengan mata elang hitam miliknya. Dia menatapku dengan sangat intens, dan aku hampir tenggelam akan pesonanha. Aku memejamkan mataku saat wajahnya mendekat dan mengikis jarak antara bibirnya dengan bibirku.
"Kau sudah menantikannya manis?" aku membuka mataku dan melihatnya tersenyum menggoda. Aku hanya menatapnya dengan bibir yang sedikit terbuka dan mata yang agak sayu.
"Cut! Oke, bagus. Kita istirahat dulu 10 menit!" Suara sutradara nyaring terdegar keluar dari alat pengeras kecil.
Sesaat aku langsung merilekskan tubuhku dan bernafas lega.
"Kau terlihat sangat menikmatinya." Ujar Dylan seraya membenarkan resletingnya yang terbuka sambil terkekeh mencemooh kepadaku.
"Menikmati? Siapa yang kau maksud?" Suaraku sinis dengan tatapan yang tak kalah sinis.
"Kau." Dia menunjukku dengan dagunya yang berbulu halus itu.
"Cih, itu namanya profesional kau tahu! Kau jangan besar kepala! Aku tidak pernah terbawa perasaan dengan lawan mainku." Balasku dengan berdiri melawannya dengan tangan bersidekap dan dagu yang kuangkat setinggi mungkin.
"Yayaya, seperti kau pernah melakukan adegan ranjang sebelumnya saja." Balas Dylan sarkas.
"Kita lihat saja nanti!" balasku sambil berlalu meninggalkannya yang massih berkacak pinggang menatapku di tempat yang sama.
***
Namaku Caroline, dan ya aku seorang aktris yang sedang naik daun. Ini kali pertamaku berlakon di film yang cukup erotis -tidak! tapi benar benar erotis. Dan lawan mainku adalah Dylan Romes. Dia terkenal sebagai pria terpanas di California dan yang kudengar dari berita, dia seorang penakluk wanita. Well, dengan modal tampang dan body sebagus itu aku percaya saja. Apalagi setelah aku mengetahui sifat mesumnya itu. Dia selalu mencari kesempatan menyentuhku. Maksudku, ya. memang dalam film ini mengharuskan kita lebih banyak skinship, tapi cara menyentuhnya itu berbeda.
Saat briefing pertama dan pengenalan para pemain film, aku bertanya kepada penulis dan sutradaranya. Apakah dalam adegan saat melakukan 'itu' benar benar dilakukan. Maksudku, apakah kami benar-benar making love didepan kamera. Saat mendengar pertanyaanku Dylan dan staf yang lainnya tertawa sedangkan wajahku sangat merah menahan malu.
Saat itu sutradara yang bernama Mike menjawab dengan diiringi kekehan "Tidak Caroline, kita hanya merekam kalian dari jauh dan dari beberapa sudut. Tapi kau tidak perlu khawatir, alat pribadi kalian tidak akan kami ekspos.Jadi, Kalian tidak perlu melakukannya sungguhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shoot Stories
Romancekumpulan cerita cerita receh berbagai genre... yang passtinya dikhususkan untuk 21+ yah