01. Awal

276 20 53
                                    

Rumah yang seharusnya menjadi tempat kembali, mengapa justru seperti neraka?

-Alfarel Alastair

Terpaan sinar senja memenuhi ibukota sore ini. Matahari akan segera terganti dengan sinar rembulan. Arel melajukan motornya, membelah keramaian kota. Ingin segera membaringkan diri di atas kasur untuk menghilangkan rasa capek yang menyerangnya seharian ini.

"Kamu harus terbiasa dengan ini. Jika tidak, simple saja. Cerai, selesai."

"Gak! Aku gak mau, Er."

Samar-samar, Arel mendengar teriakan saling membalas dari dalam rumah. Dia melangkah memasuki rumah yang luar biasa megah itu. Diliriknya sekilas percekcokkan pria dan wanita di ruang utama rumah keluarga Alastair yang sudah menjadi hal biasa baginya kemudian masuk ke dalam kamar.

Selama tiga tahun belakangan ini, orang tuanya terus bertengkar. Arel bahkan hidup seperti tidak terurus, tidak mempunyai orang tua. Jika bukan karena sibuk atau memulai perdebatan, mereka tidak akan pulang ke rumah. Tapi itu benar-benar membuat Arel muak. Akan lebih baik mereka atau dia sendiri tidak pulang dari pada harus menonton drama rumah tangga keluarga Alastair.

Seusai membersihkan diri, Arel mengambil jaket hitam dengan lambang singa kebanggaannya, dengan niat untuk tidur di markas malam ini. Namun, baru saja ia akan membuka gagang pintu, seseorang sudah lebih dulu membukanya. Tampak seorang wanita cantik dengan rambut hitam sebahu dengan mata sembap menatapnya.

"Arel ... "

Arel mengangkat sebelah alisnya, menatap Kyle sebentar kemudian melanjutkan langkahnya. Tapi, sang mama mencekal lengannya cepat.

"Mama mau bicara, Nak," ucap Kyle pelan.

Arel menghembuskan nafas kasar. Jujur, ia benar-benar ingin keluar dari neraka ini sekarang juga. Tapi, mata Kyle berubah menjadi sendu dan Arel lemah akan hal itu.

Arel mengangguk dan membawa Kyle duduk di tepi kasurnya. "Kenapa?" Tubuhnya bergetar saat perlahan cairan bening turun dari mata indah Kyle, yang ia rindukan setiap hari.

"Kamu sudah besar ternyata." Kyle menatap Arel dalam. Tidak menyangka putra kecilnya telah tumbuh menjadi lelaki tampan dan bodohnya dia tidak menyadari hal itu.

"Mama rindu kamu, Sayang," ucap Kyle membelai rambut Arel lembut, belaian yang sungguh, Arel merindukan ini. Tangan Arel perlahan mengusap pipi Kyle, menghapus jejak air mata di sana. "Arel gak bisa lihat Mama nangis," ucap Arel pelan.

"Mama minta maaf. Mama udah jadi Mama yang jahat buat kamu. Gak pernah bangunin kamu sekolah, masakin kamu sarapan, dengerin cerita kamu ... Mama minta maaf, Nak." Kyle memalingkan wajahnya. Tidak berani menatap Arel. Kyle bahkan merasa sangat tidak pantas menjadi seorang ibu untuk putranya sendiri.

Arel menggeleng. Dadanya sesak melihat Kyle rapuh di hadapannya. "Ma ..., " lirihnya.

"Seharusnya Mama dan Papa selalu ada di saat kamu butuh. Tapi, Papa kamu." sebelum Kyle melanjutkan ucapannya, Arel lebih dulu memotongnya. Ia tidak ingin mendengar masalah orang tuanya. Benar-benar tidak ingin. "Arel gak mau denger kalau Mama bahas itu di depan Arel," ucap Arel dengan tangan mengepal.

"Kamu harus tau ini, Arel." Kyle menggenggam tangan Arel erat. "Mama sayang sama kamu, Papa kamu juga. Dua laki-laki yang sangat Mama sayangi. Tapi, Papa kamu bahkan tidak pernah menghargai Mama."

"Ego Papa kamu sangat besar. Tidak mau mendengar pendapat Mama sebagai istrinya." Sekali lagi, air mata turun di pipi Kyle membuat hati Arel mencelos seketika. "Mama sayang sama Papa kamu. Sangat," lirih Kyle. Matanya terpejam menahan sesak di dadanya. Luka yang datang dari suaminya secara bertubi-tubi benar-benar tidak bisa ia tutupi sekarang, di hadapan Arel, putranya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlfarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang