Bagian Satu | Awal Bagi Mereka

91 15 23
                                    

Malam ini langit kembali menangis, setelah sekian lama tak menampakkan sendunya. Gemericik air yang awalnya rintik mulai terdengar deras.

Beberapa helaan nafas terdengar dari gadis pemilik mata indah itu. Awalnya ia berencana untuk keluar sebentar tapi nampaknya keadaan tidak mengizinkan. Kakinya melangkah ke arah jendela, mengajaknya untuk menikmati indahnya hujan.

Dan tetap sama, wajahnya selalu sulit diartikan. Membawa sejuta senyuman yang tak ada artinya, hampa dan hampa itulah yang selalu memenuhi dirinya. Untung saja masih ada alasannya bertahan di dunia. Ayahnya dan sahabatnya. Memang gadis bernama Rain itu hampir kehilangan nyawanya setahun yang lalu, merampas sebagian dunianya.

Menurut Rain, kenapa tidak dia saja yang pergi, kenapa harus ibunya. Berulang kali dia menyalahkan dirinya sendiri hingga membuat kesehatan psikisnya terganggu. Tapi tetap alasannya lah yang membantu Rain melewati ini semua.

"Ma, gimana disana, baik-baik aja kan?" ujarnya dengan memandangi langit.

"Aku kangen ma, rasanya aku pengen peluk mama sekarang juga", katanya sambil menahan sesak.

"Raina jahat banget ya ma, biarin mama pergi gitu aja".

"Kalau waktu bisa diulang Raina pengen banget gantiin posisi mama, kasian papa ma tiap malem selalu nangis karena kangen sama mama", ucapnya dengan air mata yang sudah mengalir dipipinya.

"Tapi Raina janji akan selalu jagain papa dan jadi anak yang baik. Raina sayang mama, semoga mama nanti datang ya dimimpi Raina, i love you ma", harapnya dengan senyum tulus.

Tanpa sadar daritadi ada seseorang yang melihatnya dari jauh. Sesekali menahan tangis karena ikut merasakan ucapan anak semata wayangnya. Hanya Raina lah yang dia punya, berharap agar putrinya tetap berada di sampingnya, melewati ini semua.

Ya benar, ayahnya lah yang melihat Rain. Awalnya ia ingin melihat Raina sudah tidur apa belum. Namun dengan melihat ini niatnya terurung karena ia tahu sekarang Raina membutuhkan waktunya sendiri. Mungkin nanti lebih baik, setelah Raina tertidur sambil memeluknya dan memberikan segala doa yang terbaik untuk putrinya.

"Tutt...tuttt...", bunyi handphone Rain.

Rain tersentak dari lamunannya dan segera mengangkat telefonnya.

"Iya, kenapa?" jawabnya dengan suara serak.

"Eh kenapa lo Rain, habis nangis ya?", tanya gadis di seberang sana.

"Siapa yang berani buat lo nangis, sini ngomong ke gue biar gue hajar ", sahutnya heboh dengan nada tinggi.

"Jangan teriak-teriak ra, udah malam", katanya pengertian "lagian aku nggak nangis kok, kan nggak kayak kamu cengeng hahaha", katanya sambil tertawa. Dengan nada kosong tentunya.

"Enak aja lo, gue sekarang nggak cengeng ya. Ngomong-ngomong lo happy nggak Rain, besok kan udah masuk sekolah dan artinya kita bisa ketemu. Rasanya pengen peluk deh Rain, kangen banget..."

"Iya happy kok, nggak sabar buat ketemu kalian semua" ucapnya tersenyum senang.

"Cuma gitu doang, itu namanya nggak happy Rain. Pokoknya gue nggak mau tahu, besok lo harus udah ketawa nggak ada nangis-nangisan lagi. Janji Rain, kalau nggak gue laporin ke mereka berempat", tegasnya.

"Iya Kiara, janji" balasnya sambil tersenyum tipis.

"Yaudah udah malam nih, sana tidur biar nggak kesiangan, jangan lupa baca doa dulu", kata Rain mengingatkan.

"Iya Raina cantik...good night!!!", ucapnya dengan gembira.

"Rain sayang Kiara", ucap Rain spontan.

"Gue tau Rain, tapi Kiara lebih sayang Rain. Bye hope to see you soon", balas Kiara sambil tersenyum.

Dunia Untuk KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang