Hujan tiba-tiba turun dari atas langit, menyiram bumi agar manusia istirahat sejenak dari kegiatannya di jalan-jalan. Beberapa di antara mereka mungkin akan tetap mengendarai kendaraan dan melakukan pekerjaan dengan jas hujan. Tapi, sebagian dari mereka memutuskan untuk berhenti barang sebentar untuk berlindung dari basah yang merepotkan.
Dan aku salah satunya.
Awalnya hanya rintik-rintik yang jatuh, dan aku lumayan menikmati rasa sejuknya. Mataku masih santai mencari tempat berteduh, tapi hujan ini tak menunggu lama untuk menderas. Terpaksa kukayuh cepat-cepat sepeda ini ke bawah atap sebuah toko yang sudah tidak terpakai di tepi jalan. Letaknya berada di sebelah supermarket. Halamannya lumayan luas, dan atapnya menjorok ke luar, sehingga banyak juga yang sepemikiran denganku untuk rehat sejenak di bawah sini.
Sambil mengembuskan napas, kusandarkan sepeda tua ini pada dinding di dekatku, lalu mendecak betapa sulit menyeimbangkannya. Hampir saja aku kehabisan kesabaran, jikalau seorang anak lelaki yang datang dari belakangku tidak mau ikut campur membantuku.
"Kak, boleh saya bantu menaruh sepedanya?" tanyanya polos, tidak menghiraukan diriku yang mulai angkat tangan dan membiarkannya mengambil alih peletakan sepeda ini.
Beberapa detik kemudian, aku tersentak kaget. Sepedaku terjatuh dan hampir menimpa kaki kami berdua. Aku menoleh pada anak lelaki itu, tampaknya, ia bahkan menjadi sangat panik telah melakukan suatu kesalahan.
"Aduh, Kak! Maaf, saya akan mengangkatnya kembali." Ia gugup menoleh ke arahku, ke orang-orang di sekitarnya, mulai berjongkok hendak meraih sepeda yang tergeletak.
"Ah, sudah, tak apa," seruku, memegang lengannya pelan. Kalau dia panik begini, bagaimana cara ia melakukannya? Tangannya gemetar hebat saat aku menyentuhnya. Apa ia setakut ini?
"Tidak, Kak. Saya salah, saya akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya." Senyumnya lebih gemetar daripada tangannya. Ia pelan hendak menundukkan tubuhnya lagi.
"Sudah, sudah. Sepeda tua itu memang susah diurus. Lebih baik kita segera menepi ke dalam teras toko. Hujannya tambah deras, airnya menciprat ke sini. Biarkan saja sepedanya, ayo." Aku bersikeras, memelototkan mata sedikit pada anak itu agar ia mau menurut. Kalau tidak seperti ini, mungkin ia akan terus berusaha memperbaiki letak sepedaku.
Ia menoleh padaku, masih tetap tersenyum walau tidak seceria pertemuan pertama tadi. Kepalanya menunduk lagi. Aku menarik lengannya, merapat ke jendela toko yang tertutup kertas koran.
Aku tidak tahu tujuan anak ini sebelumnya, tapi dia menuruti ajakanku dan ikut berteduh di bawah sini. Beberapa orang mulai membuka ponsel masing-masing, barangkali menghubungi orang terdekat untuk menjemput atau membawakan payung. Di depan toko yang kecil ini, hanya ada lima orang yang berlindung termasuk aku dan anak ini.
Tidak ada kursi, jadi aku berdiri sembari menatap genangan di depan sana.
Anak itu bergerak di sampingku, aku mendengarnya mengembuskan napas. "Benarkah itu tak apa?" tanyanya lagi. Aku bahkan sampai gemas mendengarnya terus merasa bersalah.
"Bisakah kau tidak merasa takut seperti itu? Aku tidak seperti orang jahat yang akan memukulmu kalau sepeda itu tidak bisa berdiri."
Aku tidak mendengarnya berkata apa-apa lagi. Baiklah, suasana ini jadi dingin sekarang. Bukan lagi masalah angin kencang di luar sana, tapi peristiwa tadi yang membuat pertemuan ini jadi beku sekali.
"Kak, apakah ada manusia yang sepanjang hidupnya membuat kesalahan?"
Aku menoleh kaget padanya. Ia baru saja bertanya padaku, 'kan?
"Ah, kau bertanya padaku?"
Dia mengangguk.
"Manusia memang seringkali melakukan kesalahan, tapi tidak untuk selamanya," jawabku. Aku berdeham sedikit, memperbaiki ucapanku, "Kalau mereka mau belajar dari kesalahan-kesalahan itu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bicaranya Noda
Short StorySebuah cerita pendek. Di bawah hujan yang menderas, berlindung di depan toko yang tak terurus, berdiri menunggu waktu yang tepat untuk kembali pulang, ada kesalahan-kesalahan yang diakui. Di bawah atap yang lembab, di dekat sepeda yang tergele...