"Pada Lembar Terakhir"

80 24 21
                                    

Bogor dengan rindangnya,
Bogor dengan kesejukanya,
Bogor dengan mendungnya,
Bogor dengan rintiknya,
Dan Bogor dengan lukanya.

Sudah hampir tiga tahun aku tidak kembali ke kota ini. Kota yang telah menjadi saksi tumbuh kembangnya anak laki-laki bandel, si pencuri seupan taleus buatan ibunya. Agh, sungguh demi langgit yang akan runtuh siang ini, seupan taleus buatan ibu benar-benar tidak bisa membuat mulutkku berhenti mengunyah kala itu. Peringatan tegas dari ibu sampai tidak aku indahkan, kalau ibu lengah, maka piringku penuh dengan taleusnya. Enak sekali.

Aku rindu taleus buatan ibu, eh terlebih rindu pembuatnya. Bisa naik pitam kalau ibu tau aku lebih merindukan taleus buatanya dari pada dirinya. Aku juga rindu dia, dia gadis yang membuat hatiku sempat mati rasa dan memilih untuk merantau jauh ke negeri Jiran dengan terpaksa meninggalkan ibu dan sepupuku–Ester–yang memang dirawat ibu sejak masih bayi. Ester menjaga ibu dengan baik, aku tahu dari cerita ibu setiap kali kami bercakap via sambungan telepon. Tidak bisa dipungkiri, Ester banyak membantu masa-masa sulitku, dia pula yang membuatku berniat pulang. Ah, ya, berita yang disampaikan Ester lebih tepatnya.

"Aa dia pulang! Kemarin dia datang mencari Aa ke warung, dia minta Aa berkunjung kerumahnya," ujar Ester kegirangan via sambungan telepon. "Kata dia secepatnya," imbuh Ester.

Entahlah kenapa separuh hatiku yang masih mati tiba-tiba bangkit setelah mendengar kabar itu. Rupanya seperti yang separuh lagi, ia mati suri. Rasa sakitnya hilang begitu saja tanpa dendam sedikitpun. Dan aku tanpa berpikir panjang langsung mengambil cuti satu bulan penuh dari tempat kerjaku, berharap segala tanya lekas terjawab.

"Sudah sampai, Nak," ucap pak Jaka, sopir dari rentail Kemerlap.

Aku menuruti ide Ester, menyewa mobil untuk menjemputku di bandara, katanya biar lebih cepat sampai ke rumah, padahal aku tau ini demi gengsinya semata. Tapi setidaknya Ester benar juga, aku lebih cepat sampai ke rumah. Rumahnya. Maaf ibu, anakmu lagi-lagi bandel, tidak langsung pulang menemuimu dulu bahkan setelah tiga tahun menolak pulang.

"Diwangga? Sudah lama tidak terlihat, Paman kira sudah menjadi Bang Toyib atau Malin Kundang," ujar Paman Farhan, nadanya menggoda.

Pria paruh baya dengan mulut ceplas-ceplos itu tiba-tiba nongol entah dari mana. Demi sopan santun, meski sedikit sebal, aku mencium punggung tangannya.

"Eh warga, lihat siapa yang datang!" Paman Farhan berseru kencang, "Diwangga, dari RW sebelah datang langsung dari Malaysia bawa banyak oleh-oleh."

Aku kaget bukan kepalang sementara pria paruh baya yang berhasil membuat warga sekitar berkerumun dalam hitungan detik, asik nyengir mengomandoni warga untuk menuju mobil sewaanku. Pak Jaka terlihat panik, aku mengkodenya untuk membagikan satu kardus oleh-oleh.

"Diwangga," panggil si pemilik rumah yang baru saja keluar. Dia melambaikan tangannya, menyuruhku untuk lekas menuju teras.

Sekarang jantungku terpacu lebih kencang. Astaga, bahkan dia tidak berubah sama sekali, masih cantik dan anggun seperti dulu. Ester tidak berbohong.

Dia menyalamiku, semoga saja dia tidak curiga dengan kondisi tanganku yang amat dingin. Kami duduk berhadapan, saling melempar pandang selama sepuluh menit, sampai asisten rumah tangga pemilik rumah datang menyuguhkan teh hangat dan beberapa toples kue kering.

"Silakan," tawarnya santun.

Aku mengulum simpul sabit setelahnya tinggal kami berdua di teras rumah.

"Apa kabar?" tanyakku kaku membuka topik.

Baru saja dia akan menjawab, warga yang berkerumun tadi sudah menyerobot percakapan kami, mengucapkan terima kasih. Aku mengangguk saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LEMBAYUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang