koran hari ini

22 2 0
                                    

Juni, 6 - 2020

Dunia sedang damai-damainya seminggu terakhir. Udara terasa sangat segar. Burung-burung berkicauan dengan lantang, awan melayang berhamburan. Langit sore tak ingin kalah, ia berkilau layaknya permata warna-warni. Semua makhluk berlomba menunjukkan senyum terbaiknya. Tak ada keributan, tak ada berita-berita heboh para artis, tak ada demo mengenai bodohnya pemerintahan.

Seminggu terakhir koran pagi hanya berisi sedikit tulisan yang kebanyakan adalah berita lama, cerpen dan puisi. Sisanya dipenuhi iklan kambing aqiqah, servis komputer, toko baja ringan, rumah dengan DP murah, kavling tanah, pengobatan wasir, jual batu cincin dan mengagetkannya lagi masih saja ada dukun santet yang memasang iklan di zaman seperti ini dengan menawarkan pelet jodoh. Ada-ada saja, di zaman sekarang bahkan filter dari aplikasi edit foto lebih mendukung untuk mengubah wajah seseorang lebih cantik dari wajah aslinya. Tak ingin kalah dengan dukun santet, para calon bupati, anggota DPR dan gubernur memasang iklan dirinya di bagian belakang koran dengan ukuran penuh satu halaman dan sialnya hanya berisi  ucapan selamat pagi kepada masyarakat. Sungguh konyol. Tapi bagi perusahaan media cetak, hal ini sangat menguntungkan karena pengerjaan yang mudah tapi dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar.

Dan aku sudah seminggu juga menjadi pengangguran karena bekerja sebagai pengisi berita koran yang masih di bayar perhari. Tak ada berita yang ku kejar, tak ada ocehan Bos pagi hari karena telat mengumpul tulisan, tak ada mandi, entah harus senang atau sedih. Di satu sisi aku bisa hidup dengan santai tanpa beban dan tanggungan, di satu sisi perut dan dompetku merengek minta diisi. Mungkin jika perut bisa dijual, aku akan menjualnya tanpa ragu. Sungguh beban hidup.

Aku tinggal di sebuah kos-kosan dekat perusahaan tempatku bekerja. Hidup berdua bersama dengan kucing kuning menyebalkan yang tidur ketika aku bekerja dan bangun untuk meminta makan ketika aku sudah di rumah lalu tidur lagi ketika perutnya sudah tak mampu menampung makanan. Namanya Maliko ia sudah kurawat seperti anak sendiri. Aku menemukannya ketika sedang berjalan pulang ke rumah. Ia terlihat kebingungan di dekat gardu pos ronda ujung gang masjid sore itu. Saat itu ia masih sangat kecil, mungkin baru beberapa hari brojol dari rahim ibunya. Aku tak berniat memeliharanya jadi hanya berpikir untuk menemani sebentar sampai ibunya kembali membawakan segondol ikan goreng. Tak terasa, matahari mulai hilang, langit mulai gelap, azan maghrib mulai terdengar, bapak-bapak komplek terlihat damai berjalan menuju masjid. Namun Ibu Maliko tak kunjung datang, kutunggu lagi kira kira 10 menit, masih juga belum ada tanda-tanda kembalinya ibu Maliko. Tidak tega meninggalkannya sendirian, barulah kuputuskan untuk membawanya pulang.

Saat masih kecil, ia kucing yang sangat lucu dan menggemaskan, senang bermain, dan pintar. Tak pernah buang air sembarangan atau membuat kamar kosanku menjadi berantakan. Tapi sekarang entah kenapa ia sama sekali tak tau terimakasih. Hidup menumpang denganku tapi jika tidak diberi makan ia akan mencuri apapun di dalam rumah Ibu Kos. Dan sial aku yang menjadi sasaran amarahnya karena akhlak kucing syalan itu.

“FATHANNNN,” teriak Bu Kos sampai-sampai suaranya mengalahkan toak masjid. Azan jadi terdengar samar. Aku yang sedang asik membaca koran pagi itu terkejut bukan kepalang. Koranku ikut kaget jatuh ke lantai.

Tangan kanan menggulung lengan baju sebelah kiri, tangan satunya lagi mengepal sangat padat kira-kira sama besar dengan kepala bayi yang berumur 2 minggu. Berjalan cepat kearahku lalu berteriak, mulutnya mangap mingkem tepat di depan wajahku.

“lu ganti ikan goreng gua yang dicolong tu kucing atau sewa kos lu naik dua ratus kali lipet," cairan dari mulutnya berterbangan dan mendarat ke wajahku dengan sangat mulus. Aku hanya bisa diam sambil menutup mata khawatir jika cairan dari mulutnya itu berpotensi membutakan.

"SEKARANG!” lanjutnya lagi berteriak. Kira-kira begitu ketika ia melampiaskan amarahnya. Bahkan setan-setan insekyur seketika melihat itu.

Sebagai pengangguran dadakan, keseharianku menjadi berubah total dan hal paling monoton adalah membaca koran tiap pagi dengan kopi hangat dan kacang seribuan sebagai cemilan. Kadang saat menemukan tulisan yang lumayan bagus, dalam hatiku mendoakan penulisnya akan sukses suatu hari nanti—yaa setidaknya ia mampu berbelanja di Syophi (toko online yang terkenal dengan lambang 'S' dan background pinknya) tanpa memperhitungkan ongkos kirim (ongkir) atau menunggu event agar mendapat voucher gratis ongkir—Tak jarang juga kutemukan tulisan lucu dan konyol. Terlintas dalam kepalaku, isi koran seperti saat ini adalah yang paling keren dibanding koran yang berisi berbagai berita karena membuat mata runyam saat membaca.

Dan sekarang waktunya melakukan rutinitas itu kembali, membaca koran harian gratis. “Koran hari ini” sebuah judul di halaman paling depan. Tak perlu menjadi judul pun semua orang paham ini adalah koran hari ini. Bukan begitu? Tak ada iklan di halaman depan. Tumben. Apa kontrak iklan sudah pada mulai habis karena koran yang semakin tak laku dijual sebab tak ada berita yang perlu diketehaui!? Setelah kubaca, ternyata cerpen itu berisi kucing yang galau ditinggal majikannya mati akibat tersedak kuaci. Mengapa akhir-akhir ini cerpen-cerpen koran begitu konyol. Mengapa juga kucing itu harus galau? Mengapa harus kuaci? Tak bisakah diganti dengan kacang yang sedikit lebih besar? Apa mereka sudah kehabisan ide? Lagi pula siapa juga yang dengan bodoh mati hanya karena tersedak kuaci?  Kemarin ada cerpen yang berjudul ”kucing kundang” bercerita tentang Ibu Kos yang mengutuk kucingnya menjadi panci hanya karena mencuri ikan di meja makan.

Aku yang kesal segera menenangkan hati, melihat ke arah kucingku yang sedang tidur di atas keset teras dengan nyenyaknya, lalu menoleh ke arah Ibu kos yang sibuk menyapu halaman rumah menggunakan panci gosong andalannya. Ada-ada saja, menyapu halaman kok menggunakan panci. Aku menarik napas dalam-dalam lewat hidung, lalu menghembuskannya perlahan lewat mulut. Lalu sisanya ku ekstrak menjadi kentut. Kemudian menyeruput kopi yang masih hangat dilanjutkan memakan kacang yang sudah ku pindahkan ke dalam toples lebaran.

“Eghhhkkkk ughhkk ughhkk argghh ekkk” kacang syalan.

***

Keesokan harinya, sebuah berita muncul di berbagai koran harian  untuk pertama kali dalam seminggu terakhir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

koran hari iniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang