Bagian Satu (Siapa dia?)

15 6 1
                                    


Hanya saja dalam agama kami dilarang bersentuhan dengan yang bukan mahromnya. -Ummi

Awan putih terlihat jelas dari dalam pesawat, membuat jemariku ingin sekali menyentuhnya. Kelihatannya seperi kapas yang halus dan tipis.

Tetapi, sungguh maha mulia Engkau, ya Allah yang telah memberikan awan pada Nabi Sulaiman sebagai kendaraannya, masya Allah.

Aku tersadar dari kenikmatan melihatnya putihnya awan sedekat ini, ketika telinga ini mendengar pemberitahuan bahwa penumpang diperintahkan untuk memakai sabuk pengaman, karena pesawat akan turun.

Beberapa pramugari berjalan meemriksa setiap penumpang, dari depan ke belakang. Setelah memakai sabuk dalam hati berbagai doa kupanjatkan, meski sudah berada di atas tanah air, tetap saja perasaan khwatir itu masih ada.

Bandara, pukul 16:00 WIB. Setelah dua tahun merantau, akhirnya aku pulang ke tanah kelahiran yaitu Bandung. Kaki ini berhenti ketika sudah menepi untuk mengecek handphone yang berbunyi, tanda ada notifikasi dari whatsapp. [Nak, ummi tidak jadi menjemputmu karena sedang ada masalah di rumah.]  Pesan itu ternyata dari ummi dan seperti biasa, selalu apa adanya, Jujur.

Sepertinya aku harus mencari taksi untuk sampai di rumah. Aku memasukkan kembali handphone ke dalam saku kokoku.

Lalu, kembali tangan ini memegang gagang koper dan menariknya. Saat hendak mengambil langkah, ada seorang bapak-bapak yang menghampiriku dan bertanya, “ Dengan, Umar?”

Aku tersenyum melihat beliau, mengingatkan diriku pada abah di rumah. Ah, jadi tidak sabar untuk memeluknya, rindu ini sudah sangat menebal dalam kalbu. Hendak segera aku lepaskan ketika sampai rumah nanti.

“Ya, saya sendiri. Bapak siapa, ya?”

“Saya supir yang di suruh Neng Rahmah untuk menjemput, Aden,”

“Ning Rahmah?” Beliau mengangguk. “Anaknya Kyai Ibrahim?”

kembali beliau mengangguk. “Owh begitu. Baiklah, ayo, kita ke mobil. Di mana mobilnya, Pak?"

“Mari, ikuti saya, Den. Oh, ya kemarikan kopernya biar saya saja yang menyeretnya. Pasti aden capek ‘kan?”

Aku menggeleng. “Tidak perlu, Pak. Terima kasih, alhamdulillah saya bisa menyeretnya sendiri. Tolong, jangan perlakukan saya seperti atasan Bapak. Kita sama-sama hamba Allah yang lemah, Pak.”

Beliau tersenyum.“Ah, baiklah, Den. Mari,” ajak bapak tersebut yang belum kuketahui namanya. Rahmah, anak Kyai Ibrahim itu ternyata masih ingat padaku, tapi dari mana ia tahu bahwa aku akan pulang hari ini?

Ah, sudahlah yang penting dapet kendaraan buat balik. Bismillah saja semoga bapak ini orang baik-baik.
Setelah menutup pintu mobil tertutup, bapak yang duduk di sampingku ini mulai menyalakan mesin mobil dengan mengucapkan lafadz bismillah, aku pun mengikutinya dalam hati. Lalu, mulailah perlahan mobil keluar dari barisan parkir.

Selama perjalanan Pak Herman –Nama bapak yang tadi menjemputku- menanyakan suasana di Turki, juga ada apa saja di sana. Aku pun menjawab dengan seadanya yang kuketahui, tanpa terasa sudah 2 jam perjalanan dari Bandara ke rumah sampailah kami di depan tangga menuju rumah mungil yang sangat dirindukan.

Pak Herman mengantarkanku sampai di depan pintu rumah, lalu pamit untuk kembali ke rumahnya. Karena beliau harus mengembalikan mobil pada Kyai Ibrahim terlebih dahulu. Ketika aku masuk yang pertama kali kulihat adalah seorang perempuan cantik berbalut celana jeans pendek juga, baju pendek  yang dilapisi jaket jeans kecil dan ada sebuah kalung salib bertengger di lehernya.

Dahiku mengkeru, siapa dia? Aku pun langsung beristigfar berulang kali.“Alhamdulillah kamu sudah sampai, Nak.”

Suara Ummi mengalihkan perhatianku pada perempuan itu. Begitu juga dia yang sedang memainkan handphone-nya, terlihat ummi membawa sebuah nampan, lalu di dalamnya terdapat satu buah cangkir berisikan air putih.

Alhabu Fi Alsala (Cinta Dalam Doa) PROSES TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang